Langsung ke konten utama

PEDAYAGUNAAN ZAKAT MENURUT YUSUF QARDHAWI

ABSTRAK

ASEP MUHYIDIN: KONSEP PENDAYAGUNAAN ZAKAT MENURUT YUSUF QARDHAWI

Di dalam hukum Islam diketahui bahwa zakat merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Muslim dan merupakan sebuah aturan yang mencakup hubungan antar individu yang satu dengan yang lainnya, baik hubungan sosial maupun ekonomi. Ini menegaskan bahwa di dalam konsep zakat terdapat anjuran untuk saling menolong antar sesama, khususnya antara orang mampu (muzaki) dengan orang yang tidak mampu (mustahik), ini telah sukses dilaksanakan di masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin. Namun sekarang hal tersebut tidak terlaksanakan dengan baik.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apa makna pendayagunaan zakat menurut pandangan Yusuf Qardhawi dan bagaimana pandangan Yusuf Qardhawi terhadap pendayagunaannya. Menurut Yusuf Qardhawi, zakat sebagaimana fungsinya merupakan aturan dalam Islam yang bersifat sosial-ekonomi dan spiritual. Ketiga fungsi dari zakat ini tidak berjalan secara terpisah-pisah akan tetapi satu sama lain saling berkaitan. Apabila dimensi spiritual sudah terbangun maka dimensi sosial dan ekonomi pun akan terbangun dengan sendirinya.
Menurut Yusuf Qardhawi, pada dasarnya zakat bertujuan untuk meningkatkan produktifitas masyarakat (fakir miskin). Artinya dana yang berasal dari zakat harus dialokasikan terhadap sektor-sektor riil, seperti modal perdagangan, untuk menimimalisasi pengangguran, beasiswa (membiayai orang yang sedang mencari ilmu), pembangunan sarana dan prasaran ibadah, pendidikan dan lain-lain.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan pandangan Yususf Qardhawi tentang makna dan konsep pendayagunaan zakat. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana tingkat relevansinya dengan konteks sekarang.
Hasil dari analisis terhadap makna dan pandangan Yusuf Qardhawi tentang pendayagunaan zakat adalah: 1) Zakat mempunya dimensi spiritual, seperti, zakat dapat mensucian jiwa dari sifat kikir, zakat dapat mengembangkan sifat memberi, zakat dapat menumbuhkan rasa simpati dan cinta kepada sesama manusia, zakat dapat menghilangkan sifat iri dan benci. 2) Zakat mempunyai dimensi sosial, seperti, zakat dapat melahirkan hubungan yang baik antara orang mampu dengan orang fakir. 3) Zakat mempunyai dimensi ekonomi, seperti, zakat sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Sebagai sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia. Meningkatkan etika bisnis yang benar, sehingga orang fakir dapat berikhtiar dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri tanpa menggantungkan hidupnya terhadap orang lain.


DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………..…………....
LEMBARAN PENGESAHAN……………………….…………....….…..……
LEMBARAN PERSETUJUAN………………………...……….…………….
MOTTO………………………………………………….…..…….….…...……
RIWAYAT HIDUP……….……………………………………………....…….
KATA PENGANTAR………………………………………..…...…..………..
DAFTAR ISI……………………………………………....…………...……….
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………..…………………..............
B. Perumusan Masalah…………………….…...………………...............
C. Tujuan Penelitian……………………….……...……………………...
D. Kerangka Pemikiran…………………………………………………..
E. Langkah-Langkah Penelitian………….……………….…….............
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG ZAKAT DALAM HUKUM ISLAM
A. Definisi Zakat Secara Etimologi dan Terminologi……….…….……
B. Dasar Hukum Kefardluan Zakat………………….……….…………
C. Syarat-Syarat Wajib dan Sah Pelaksanaan Zakat…..………….…….
D. Rukun-Rukun Zakat……………………………….………….……...
E. Macam-Macam Zakat………………………….…….………………
F. Sebab-Sebab Zakat……….…………….……………………............
G. Waktu Pengeluaran Zakat……………………………..…..………....
H. Yang Berhak Menerima Zakat…………………….…….…………...
I. Hikmah Zakat……………………………………….……….…........
BAB III BIOGRAFI YUSUF QARDHAWI
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikaan Yusuf Qardhawi…..…....
B. Aktifitas dan Karier Yusuf Qardhawi………………………....……..
C. Karya-Karya dan Pemikiran Yusuf Qardhawi…………….…..……..
BAB IV KONSEP PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM ISLAM MENURUT ANALISIS YUSUF QARDHAWI
A. Makna Pendayagunaan Zakat…………………………….….………
1. Pengertian Pendayagunaan………………………….....….………
2. Tujuan Pendayagunaan Zakat dan Efeknya Bagi Muzaki…….….
3. Sasaran Pendayagunaan Zakat dan Dampaknya Bagi Mustahik....
B. Pandangan Yusuf Qardhawi Tentang Konsep Pendayagunaan Zakat.
1. Zakat dan kesejahteraan Sosial…………………….……….….....
2. Sistem Pemungutan dan Distribusi Zakat…………….……….….
3. Skala Prioritas Sasaran Zakat..........................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………….….………......………
B. Saran……………………………………….………….…................
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 103:
      
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan” (Depag RI, 2000: 162).
Zakat merupakan bentuk nyata solidaritas sosial dalam Islam. Dengan zakat, maka dapat ditumbuhkannya rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk saling menolong di antara anggota masyarakat, mensucikan diri sekaligus menghilangkan sifat egois, dan meningkatkan taraf hidup orang-orang fakir. Hal ini telah direalisasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah Islam, sampai-sampai ketika itu tak ditemukan lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat, karena pada saat itu pengelolaan dan pendayagunaan zakat dilaksanakan secara maksimal (Yusuf Qardhawi, 2002: 542-544).
Namun, kondisi seperti itu kini hanya tinggal guratan sejarah terutama setelah hancurnya negara Khilafah Islamiyyah (1924) sebagai institusi pelaksana zakat dan setelah pemahaman umat terhadap ajaran-ajaran Islam termasuk zakat menjadi sedemikian lemah. Kini zakat dipahami terpisah dengan institusi pelaksananya sehingga dalam pelaksanaannya pun dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa melibatkan institusi-institusi terkait. Karenanya, tatkala orang membicarakan zakat, ia dianggap sebagai satu-satunya ajaran Islam yang dapat diandalkan untuk mengatasi kemiskinan (Strahm, 1999:14).
Selanjutnya mudah diprediksi, peran dan fungsi zakat seolah-olah dipaksakan. Ketika dana yang terkumpul dari zakat tidak mencukupi untuk mengangkat kaum miskin, sementara jumlah orang miskin tidak sebanding dengan orang-orang yang mengeluarkan zakat, agar terbukti bahwa Islam mampu menghilangkan kemiskinan maka konsep zakat akhirnya direduksi secara paksa sesuai dengan asas kemanfaatan dan tuntutan keadaan tanpa mempertimbangkan secara mendalam dan seksama.
Oleh karena itu, banyak orang masih berasumsi bahwa penyaluran dana zakat kepada kelompok fakir miskin (mustahik) hanya untuk kegiatan ritual agama. Penyaluran zakat untuk dana pengembangan ekonomi yang mandiri selama ini masih belum banyak disentuh. Konsep 4 M (Mengubah Mustahik Menjadi Muzzaki) yang menjadi landasan konsep zakat dikaitkan dengan model bantuan berikan pancingan bukan ikannya, tentunya perwujudannya tidak semudah membalik tangan (Eko Supriyanto, 2005: 34).
Menurut Mubariq (2002), zakat disalurkan untuk memenuhi konsumsi pokok kebutuhan yang habis dipakai sehari-hari, meskipun mungkin mampu membantu fakir miskin memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Cara pemanfaatan zakat semacam ini cenderung mengabadikan penerima zakat dalam situasi kemiskinannya. Pemberian “ikan” yang terus menerus tidak mendorong orang menjadi “tukang pancing” terutama jika zakat dibagikan bedasarkan flat rate. Karena itu, reorientasi prioritas pemanfaatan zakat perlu dilakukan kearah manfaat yang bersifat jangka panjang (Eko Supriyanto, 2005: 34). Oleh karenanya, perlu upaya lebih dengan menggagas program-program berkelanjutan yang kreatif dan inovatif sehingga dampak zakat secara ekonomi maupun sosial bisa dirasakan secara langsung bagi mustahik.
Idealnya interpretasi terhadap konsep zakat dikaji ulang kembali secara objektif, yakni bagaimana adanya kesesuaian yang ditunjukkan oleh nash-nash dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dewasa ini sehingga zakat bukan sebuah ibadah yang berdimensi vertikal yang dilakukan hanya sebatas seremonial semata namun merupakan ibadah yang berdimensi horizontal (sosial) sehingga konsep zakat mampu menjawab masalah-masalah kontemporer (Yusuf Qardhawi, 2002: 7-10).
Masalah-masalah kontemporer yang terjadi saat ini disatu pihak menjadikan sebuah kemunduran terhadap konsep zakat itu sendiri namun dilain pihak hal itu justru mampu melahirkan formulasi-formulasi konsep zakat yang inovatif oleh kaum-kaum cendekiawan Muslim sebagai jawaban dari zakat sebagai sistem ekonomi Islam yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan produktifitas fakir miskin secara khusus dan umat Islam secara luas. Hal inilah yang coba dirumuskan oleh cendekiawan-cendekiawan Muslim yang salah satunya oleh Yusuf Qardhawi.
Yusuf Qardhawi merupakan pemikir Islam kontemporer yang sangat yakin akan kebenaran cara berpola fikir yang moderat (al-Washatiyah al-Islamiyah). Atas dasar itulah menurut dia hal-hal yang berkaitan dengan bidang-bidang keagamaan, khususnya dalam bidang fikih perlu adanya reinterpretasi. Dalam bidang fikih Yusuf Qardhawi telah berhasil membuat sebuah formulasi dalam pemberlakuan fikih, terutama ketika dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Diantara formula yang dibangunnya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah fikih baru yang berkaitan dengan zakat (Yusuf Qardhawi, 2002: 56).
Dalam Fikih Zakat, Yusuf Qardhawi mencoba menghimpun hukum-hukum dan masalah-masalah yang terdapat di dalam zakat agar sesuai dengan kontek kekinian serta mengetengahkan kembali dalam bentuk dan cara yang berbeda dengan apa yang sudah ditulis dan pendekatan oleh ulama-ulama terdahulu. Hal itu dikarenakan tulisan dan pendekatan yang dipakai oleh ulama-ulama hanya cocok untuk zamannya masing-masing, sedangkan “lain padang lain belalang, lain masa lain bahasanya” (Yusuf Qardhawi, 2002: 5).
Permasalahan yang timbul dizaman sekarang merupakan hal yang perlu dipecahkan, khususnya dibidang zakat. Ulama-ulama terdahulu membahas zakat dalam kitab fikih sesuai dengan kontek zamannya masing-masing serta pandangan mereka bahwa zakat adalah ibadat kedua dalam Islam. Oleh karena itu, mereka membahasnya hanya terbatas ruang lingkup ibadat setelah shalat sesuai dengan kebiasaan Qur’an dan Hadits. Namun, sebagaimana yang telah diungkapkan Yusuf Qardhawi bahwa permasalahan antara zaman dulu dengan zaman sekarang sangat berbeda, maka menurut Qardhawi perlu adanya formulasi baru dalam konsep zakat.
Yusuf Qardhawi lewat buku fenomenalnya, Fikih Zakat (Hukum Zakat) mencoba membuat sebuah formulasi dalam pemberlakuan fikih, terutama ketika dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer. Diantara formula yang dirumuskannya adalah mengenai perlunya dibangun sebuah paradigma yang baru terhadap zakat dan pendayagunaanya, bahwa zakat jangan dilihat dari ajaran normatifnya saja, akan tetapi zakat harus dilihat dari sisi historis dan filosofisnya. Dan pendekatan semacam inilah yang harus terus menerus dilakukan dalam sosialisasi zakat melalui pendekatan historis, filososfis dan normatif sehingga akan merubah paradigma terhadap konsep zakat (Yususf Qardhawi, 2002: 19-33).
Dalam memecahkan permasalahan kontemporer yang yang terjadi saat ini, khususnya dalam bidang zakat, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa konsep zakat terkait dengan dampak mengentaskan kemiskinan, hendaknya zakat didayagunakan sehingga dapat mengangkat komunitas fakir miskin (mustahik) keluar dari kemiskinan dan menghilangkan segala faktor yang membuatnya hidup serba kesusahan.
Di dalam beberapa aturan zakat, jika diinterpretasi secara dangkal dalam konteks kekinian akan mencerminkan kurangnya spirit keadilan sosial dan ekonomi. Misalnya aturan tentang nisab 2,5 %, apabila hal ini dikaitkan dengan masalah sekarang maka perlu adanya pengkajian dan pengelolaan lebih dalam, karena apabila hal tersebut terjadi disuatu daerah yang jumlah fakir miskinnya lebih banyak dari pada jumlah orang mampu maka 2,5 % tersebut sama sekali tidak akan cukup untuk merubah fakir miskin menjadi orang mampu.
Atas dasar itulah, pendayagunaan zakat menurut Yusuf Qardhawi bukanlah sekedar bantuan makanan (materi) sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan penderitaan hidup orang-orang miskin dan selanjutnya tidak diperdulikan lagi bagaimana nasib mereka, tetapi zakat bertujuan menanggulangi kemiskinan, menginginkan agar orang-orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari penyebab kemiskinan tersebut dan mengusahakan agar orang-orang miskin itu mampu memperbaiki kehidupan mereka sendiri (Yusuf Qardhawi, 2002: 89).
Dengan demikian, tujuan pendayagunaan zakat pada dasarnya berkaitan dengan apa saja yang dapat memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat khususnya fakir miskin (mustahik) termasuk usaha-usaha yang mengarah ke sana, maka dapat menjadi bagian dari pendayagunaan zakat dilihat dari sisi maqashid al-syariah. Namun demikian, selama ini pendayagunaan zakat hanya untuk program-program keumatan yang abstrak dan belum mengarah ke hal-hal yang bersifat jangka panjang.
Oleh sebab itu, pendayagunaan zakat sebenarnya harus memberikan keutamaan dengan tujuan yang memungkinkan terhadap mustahik sehingga dapat menjalankan usaha secara berdikari. Sebab merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat menghidupi dirinya sendiri tanpa mengemis dan meminta-minta.
Maka dari itu, untuk memahami secara lebih dalam dan lebih spesifik tentang pendayagunaan zakat menurut Yusuf Qardhawi, maka perlu dilakukan kajian secara optimal tentang pendayagunaan zakat yang akan dituangkan ke dalam penelitian yang berjudul Konsep Pendayagunaan Zakat Menurut Yusuf Qardhawi.

B. Perumusan Masalah
Sebagaimana uraian pada latar belakang masalah, maka permasalahan yang dapat diformulasikan adalah sebagai berikut:
1. Apa makna dari pendayagunaan zakat?
2. Bagaimana pandangan Yusuf Qardhawi tentang pendayagunaan zakat?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui makna dari pendayagunaan zakat.
2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Yusuf Qardhawi tentang pendayagunaan zakat.

D. Kerangka Pemikiran
Zakat saat ini baik itu dalam tataran konsep maupun dalam tataran praktisnya hanya difahami dan diimplementasikan sebatas kewajiban ibadah yang berdimensi vertikal saja tanpa dijadikan sebagai alat bantu sosial mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi orang mampu untuk membantu orang miskin. Hal inilah yang menjadi permasalahan yang selama ini menjerat umat Islam, maka tidaklah heran apabila tujuan hakikat zakat tidak terealisasi dengan baik serta ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi masih terjadi.
Dalam hal ini menurut Yusuf Qardhawi, salah satu tujuan dari zakat adalah, memiliki kontribusi yang konkit bagi kehidupan kemasyarakatan secara luas. Yusuf Qardhawi menerangkan lebih lanjut bahwa pendayagunaan zakat harus membebaskan manusia dari sesuatu yang menghinakan martabat dan merupakan kegiatan saling tolong menolong yang mulia dalam mengadapi problema kehidupan dan perkembangan zaman (Yusuf Qardhawi, 2002: 867).
Disamping itu menurut Yusuf Qardhawi, zakat adalah salah satu bagian dari sistem jaminan sosial dalam Islam, di mana aturan jaminan sosial ini tidak dikenal dimana pun termasuk di Barat. Islam memperkenalkan aturan zakat ini dalam ruang lingkup yang dalam lebih luas, mencakup segi kehidupan material dan spiritual. Seperti, jaminan akhlak, pendidikan, jaminan politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan ekonomi dan lain-lain.
Zakat dipandang sebagai sebuah aturan pertama jaminan sosial yang tidak berpegang pada sedekah sunat individual, artinya zakat bukan saja berupa ibadah vertikal, maka hal ini perlu adanya kerja sama dari semua pihak supaya jaminan sosial dari zakat tersebut bisa melahirkan jaminan ekonomi.
Jaminan ekonomi dari zakat adalah dengan pendayagunaan zakat/ pengalokasian zakat yang maksimal dan tidak perlu dibatasi dengan batasan yang pendek. Pendayagunaan zakat atau dana zakat itu sendiri harus lebih ditekankan pada upaya-upaya produktif dan pengayaan terhadap orang-orang fakir dan miskin dengan memberikan berbagai keterampilan seperti, latihan, pekerjaan dan lain-lain sehingga hal tersebut bisa meningkatkan pendapatan fakir miskin (mustahik).
Dana zakat apabila didayagunakan dengan baik maka dapat meningkatkan pendapatan fakir miskin, karena rendahnya pendapatan mereka maka pendapatan tambahan dari zakat akan digunakan seluruhnya untuk dialokasikan kepada sesuatu yang dapat meningkatkan permintaan agregat terhadap barang-barang dan jasa sehingga rasio pendapatan akan meningkat.
Dalam meningkatkan rasio pendapatan melalui dana zakat maka ha-hal yang menunjang itu semua harus ditempuh, seperti keterlibatan badan amil zakat yang profesional dan faham terhadap permasalahan kontemporer, memberikan motivasi-moivasi, bimbingan, kontroling dan penyuluhan terkait peningkatan taraf hidup.
Oleh karena itu, dapat difahami bahwa zakat dan pendayagunaannya bukanlah merupakan tujuan, namun merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan, yaitu tujuan sosial dan ekonomi (Eko Supriyanto, 2005: 37). Itulah yang sesungguhnya hak mustahik dari zakat apabila dilihat dari kacamata kekinian.
Zakat merupakan hak mustahik yang berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan dapat beribadah kepada- Nya. Disamping itu juga zakat merupakan sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam.
Dengan demikian, zakat melalui pendayagunaan secara tepat maka zakat dapat memainkan perannya. Sejumlah ekonom Muslim menyarankan bahwa zakat seharusnya menjadi suplemen pendapatan permanen hanya bagi fakir miskin yang tidak mampu menghasilkan pendapatan bagi usaha-usahanya sendiri. Untuk kepentingan lainnya zakat dipergunakan hanya untuk menyediakan kursus-kursus dan modal unggulan (Eko Supriyanto, 2005: 33).
Oleh kerena itu, pendayagunaan zakat pada dasarnya segala sesuatu yang dapat memberikan kontibusi konkrit bagi seluruh umat termasuk memberikan program yang mengarah kepada kemandirian umat dalam mengelola kebutuhan hidupnya. Secara konsepsional bahwa konsep zakat dan pendayagunaannya bertujuan untuk menumbuhkan produktifitas masyarakat dan meningkatkan harkat dan martabat manusia sehingga tercapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Untuk itu segala program yang bertujuan meningkatkan produktifitas serta harkat dan martabat manusia seperti bantuan hukum, bantuan ekonomi, bantuan pendidikan serta beasiswa, pemahaman hak-hak dan kewajiban antara individu yang satu dengan yang lainnya harus diprioritaskan.
Maka dari itu, untuk lebih memperdalam uraian pemikiran di atas, maka dapat digambarkan melalui skema sebagai berikut:











SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN














E. Langkah-Langkah Penelitian
Agar pelaksanaan penelitian ini dapat mencapai apa yang menjadi tujuan, maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan ini untuk mengetahui apakah judul penelitian tentang Konsep Pendayagunaan Zakat Menurut Yusuf Qardhawi dapat diteliti lebih lanjut sehinga layak dan terbuka untuk diteliti.
2. Merumuskan Masalah Penelitian
Perumusan masalah merupakan langkah untuk membatasi permasalahan yang akan diteliti sehingga akan lebih memberikan arahan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini dituangkan ke dalam bentuk kalimat pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa makna dari pendayagunaan zakat.
2. Bagaimana pandangan Yusuf Qardhawi tentang pendayagunaan zakat.
3. Menentukan Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskrtiptif analistis. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan pandangan Yusuf Qardhawi tentang konsep pendayagunaan zakat. Bahasan tersebut kemudian dianalisis sejauh mana tingkat relevansinya dengan kontek realitas.


4. Menentukan Sumber Data
Sumber data yang dianalisis dalam penelitian ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Data Primer, yaitu sumber pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku Hukum Zakat (Fikih Zakat) karya Yusuf Qardhawi.
b. Data Sekunder, yaitu sumber data yang menunjang penelitian berupa buku-buku atau literetur-literatur lainnya yang memungkinkan untuk dijadikan data penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dalah book survey. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur sebagai sumber sekunder. Adapun yang dijadikan sumber primer adalah buku karya Yusuf Qardahwi yang berjudul Hukum Zakat (Fikih Zakat).
6. Analisis Data
Data atau keterangan yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan metode logika deduktif dan induktif.
7. Menarik Kesimpulan
Langkah terakhir yang dilakukan adalah menarik kesimpulan dari analisa judul Konsep Pendayagunaan Zakat Menurut Yusuf Qardhawi sehingga dapat diperoleh hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM HUKUM ISLAM

A. Definisi Zakat Secara Etimologi dan Terminologi
Apabila ditinjau dari sudut pandang etimologi, kata zakat merupakan dasar (masdar) dari kata zaka yang mempunyai arti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu zaka berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik (Yusuf Qardhawi,2002: 34). Kata zakaakan mempunyai arti yang berbeda-beda tergantung konteks kalimatnya
Menurut Lisan Al-Arabarti dari kata zakat apabila ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Semua itu digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadits (Yusuf Qardhawi,2002: 34).
Tetapi yang terkuat, menurut Wahidi dan lain-lain(Yusuf Qardhawi,2002: 34), kata dasar zaka berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan tanaman itu zaka artinya tumbuh, sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat maka kata yang tepat bisa diartikan berarti bersih, suci (thaharah). Allah SWT berfirman dalam Qur’an Surat Asy-Syam ayat 9:


“Sesungguhnyaberuntunglah orang yang menyucikan jiwa itu”(Depag RI, 2000:477).
Maksud dari kata zaka dalam ayat di atas adalah membersihkan dari kotoran. Arti yang sama juga terlihat dalam Qur’an surat Al-A’la Ayat 14:


“Sesungguhnya, beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan iman)”(Depag RI, 2000:474).
Kata zakamempunyai arti suci, misalnya dalam Surat An-Najm Ayat 32:


”Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci” (Depag RI, 2000: 421).
Kata zaka terkadang juga bermakna baik (shalah).Pernyataan rajul zakiyy berarti orang yang bertambah kebaikannya.Min aqwam azkiyya artinya termasuk di antara orang- orang yang baik.
Makna-makna zakat ditinjau dari sudut pandang etimologi di atas bisa terkumpul dalam surat At-Taubah ayat 103:


“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkann dan mensucikan”(Depag RI, 2000: 162).
Adapun zakat menurut terminologi (istilah) mempunyai arti yang wajib dikeluarkan dari harta. Madzhab Maliki mendefinisikan dengan mengeluarkan sebagian yang khususdari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishabnya (batas kuantitas yang mewajibkan zakat dikeluarkan kepada orang yang berhak menerima zakat). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan telah mencapai satuhawl(tahun) (Wahbay Al-Zuhayly, 2000: 83).
Madzhab Hanafimendefinisikan zakat adalah menjadikan sebagian harta yang khusus sebagai pemilik orang yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus serta ditentukan oleh syari’at.Kata “menjadikan sebagian harta sebagai milik atau tamlik” dalam definisi madzhab Hanafidimaksudkan sebagai penghindaran dari kataibahah(pembolehan) (Wahbay Al-Zuhayly, 2000: 83).
Dengan demikin, seandainya seseorang memberi makanan kepada anak yatim dengan niat mengeluarkan zakat, maka zakat dengan cara tersebut dianggap tidak sah. Lain halnya apabila memberikan pakaian kepadanya, dengan syarat kepemilikan harta/pakaian tersebut diikatkan kepadanya, orang yang menerimanya.Jika harta yang diberikan itu hanya dihukumi sebagi nafkah kepada anak yatim maka syarat-syarat tersebut tidak diperlukan.
Yang dimaksud dengan kalimat “sebagian harta”dalam pernyataan di atas adalah keluarnya manfaat (harta) dari orang yang memberikannya. Dengan demikian , apabila sesorang menyuruh orang lain untuk berdiam diri di rumahnya selama setahun dengan diniati sebagai zakat, maka hal ini belum bisa dianggap sebagai zakat.
Yang dimaksud dengan pernyataan “bagian yang khusus”ialah kadar yang wajib dikeluarkan. Maksud “harta yang khusus” adalah nishab yang ditentukan oleh syari’at.Maksud “orang yang khusus” adalah para mustahik zakat. Maksud dari kalimat “yang ditentukan oleh syari’at” ialah seperempat puluh atau 2,5% dari nishab yang ditentukan dan telah mencapai hawl. Maka dengan ukuran seperti inilah zakat nafilah dan zakat fitrah dikecualikan.
Menurut Madzhab Syafi’i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus (Wahbay Al-Zuhayly, 2000: 84).
Menurut menurut madzhab Hanbali (Wahbay Al-Zuhayly, 2000: 84), zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula. Yang dimaksud dengan kelompok khusus adalah delapan asnaf sebagaimana Alah SWT berfirman dalam Qur’an SuratAt-Taubah ayat 60:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Depag RI, 2000: 156).

Adapun yang dimaksud dengan “waktu yang khusus” ialah sempurnanya kepemilikan selama satu hawl, baik untuk binatang ternak, uang, maupun barang dagangan, yakni pada saat biji-bijian dituai atau digalinya barang tambang yang semuanya wajib untuk dikeluarkan zakatnya. Maksud lain dari “waktu yang khusus”ialah sewaktu terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada saat itu diwajibkan untuk zakat fitrah.
Pernyataan “wajib” berarti bahwa zakat tersebut bukan sunat, seperi halnya mengucapkan salam atau mengantarkan jenazah. Pernyataan “harta” berarti bahwa zakat bukan berupa jawaban terhadap salam. Pernyataan “khusus” berarti bahwa harta yang dizakati bukan harta yang berstatus wajib, artinya harta itu bukan harta yang harus dibayarkan untuk utang atau untuk memberi nafkah kepada keluarga. Pernyataan “kelompok yang khusus” berarti bahwa mereka bukan ahli waris pemberi zakat.Dan pernyataan “waktu yang khusus” berarti bahwa waktu dikeluarkannya zakat tersebut bukan waktu yang dinazari atau zakat kifarat.
Dari sini jelaslah bahwa zakat menurutterminologi, dimaksudkan sebagai penunaian, yaknipenunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Artinya, di dalam harta tersebut terdapat hak-hak fakir miskin. Disamping itu juga, zakat dinamakan sedekah karena tindakan itu akan menunjukan kebenaran (shidq) seorang hamba dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah SWT (Wahbah Al-Zuhayly, 2000: 85).

B. Dasar Hukum Kefardluan Zakat
Dasar hukum kefardluan zakat bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek historis dan aspek sosiologis.Secara historis, zakat/zakat maal disyari’atkan pada tahun ke 8 hijriyah. Dalam hal ini, Hadits riwayat Bukhari menjelaskan Zakat mal diwajibkan pada tahun 9/10 H, setelah futuh Makkah, yaitu ketika Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yamanuntuk mengajarkan agama pada penduduknya(Wabah Al-Zuhayly, 2000: 89-90).
Adapun secara sosiologis, kondisi masyarakat Muslim ketika itu dalam berbagai aspek kehidupannya relatifsudah stabil, baik itu dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan hubungannya dengan negara-nagaratetangga di sekitarnya.Adapun mengenai zakat fitrah sebelum tahun itu zakat fitrah telah diwajibkan sejak tahun ke 2 hijriyah, bersamaan dengan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan.Bila demikian, maka kewajiban Zakat maal dan zakat fitrah, baru ditetapkan pada periode setelah Nabi SAW di Madinah.Sedangkan infak dan sedekah sudah berjalan sejak Nabi SAW masih berada di Makkah, bahkan dari sejak awal kenabian sedekah pun sudah berjalan.Proses ini menunjukan terjadinya tadaruj (tahapan) dalam tasyri’ zakat. fase-fase ini akan membawa pengaruh besar secara anthropos, secara keyakinan, sikap keagamaan dan pandangan masyarakat terhadap harta, yaitu perubahan dari pandangan terhadap harta secara ribawi kebersedekah (Yusuf Qardhawi, 2002: 921).
Implikasi berikutnya, aktivitas ta’awun(saling tolong menolong) dalam kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam keburukan, dosa serta individualistis, hal ini terwujud dalam realitas kehidupan sosial yang bergerakmenuju ummah wahidah (kesatuan umat) dalam politik, sosial, budaya dan ekonomi serta keilmuan.
Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dengan intruksi pelaksanaan yang sangat jelas pula. Di dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 77 Allah SWT berfirman:

“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”(Depag RI, 2000: 71).
Disamping itu juga terdapat bentuk pernyataan dan ungkapan yang menegaskan wajibnya menunaikan zakat tersebut, diantaranyadi dalam Al-Qur’an suratAt-Taubah ayat 103:



“Ambillahzakatdarisebagianhartamereka,denganzakatitukamumembersihkan”(Depag RI, 2000: 162).
Rasul SAW telah menegaskan di Madinah bahwa zakat itu wajib serta telah menjelaskan kedudukannya dalam Islam, yaitu zakat adalah salah satu rukun Islam yang ketiga, bagi orang yang menunaikan zakat maka akan diberi pahala besar dan diancam bagi orang yang tidak menunaikan zakat.
Salah satu indikasi pentingnya zakat dapat dilihat ketika peristiwa Jibril mengajarkan agama kepada kaum Muslimin dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan kepada Rasulullah SAW, berdasarkan mutafaq ‘alaih:
اَ نَّهُ-سَأَ لَ النَّبِيَّ صَلَّى الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:مَا الاِ سْلاَمُ ?فَقَا لَ النَّبِيُّ صَلَّى الَّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اَلا سْلا َ مُ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لا اِلَهَ الاَ الَّلهُ,وَاَنَّ مُحَمَّدً ارَسُوْ لَ اللَّهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَ ةَ ,وَتُؤ تِيَ الزَّ كاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحَجُّ اَلْبَيْتِ اِنِّ اسْتَطَعْتَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً

“Apakah Islam itu?” Nabi menjawab ”Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa dibulan ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya”(Yusuf Qardhawi, 2002: 3).

Demikin pula Islam didirikan atas lima dasar yang salah satunya dengan zakat:
بُنِيَ الاِ سْلاَ مْ عَلَى خَمْسٍ شَهَا دَةِ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَ اللَّهُ و اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْ لُ اللَّهِ وَاِقَامِ الصَّلَو ةِ وَاِيْتَائِ الزٍَّكَو ةِ وَحِجُّ الْبَيْتِ وصَوْمِ رَمَضَا نَ)متفق عيه(

“Islam tu ditegakan atas lima dasar: 1. bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. 2. mendirikan shalat lima waktu. 3. membayar zakat. 4. mengerjakan ibadah haji ke baitullah. 5. berpuasa di bulan ramadhan”(Yusuf Qardhawi, 2002: 73).
Adapun Hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan zakat terdapat dalam hadits yang ketika pada saat itu Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke daerah Yaman, beliau bersabda:
اَعْلِمْهُمْ اَ نَّ اَّله اِفْ تَرَ ضَ عَلَيْهِمْ صََقَةٌََ تُوْ خَدُ مٍنْ اْ غْنيَاءِ هِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَ ْا ءِهِمْ

“Jika mereka memenuhi perintahmu untuk itu (ketetapan atas mereka untuk mengeluarkan zakat) beritahukanlah kepada mereka behwasanya Allah SWT mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir miskin di antara mereka”(Wahbah Al-Zuhayly, 2000: 90).

Dalam hadist dari Annas – menurut Bazaar – Rasulullsh SAW bersabda:
مَنْ فا رَقَ الدُّ نْيَا عَلي الاِ خلاصِ لِلَّهِ وَعِبَا دَ تِهِ لاَ يُثْرِكُ بِهِ وَاَقَامَ الصَّلاَةَ وَاَتَى الزَّكا ةَ فَرَقَهَا اللَّهُ عَنْهُ رَاضٍ

“Siapa yang membuang dunia hanya untuk beribadat kepada Allah dan tidak mempersekutu-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, lalu ia meninggal, maka Allah sungguh senang kepadanya”(Yusuf Qardhawi, 2002: 76).

Berdasarkan nash-nash di atas, jelaslah bahwa posisi hukum zakat sangatlah wajib dan sangat strategis, disamping itu pula posisi zakat tidak terlepas dari shalat.Dalam setiap ayat Qur’an maupun Hadits, zakat selalu digandengkan dengan kalimat shalat.
Para ulama dahulu sejak zaman sahabat sudah mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan zakat bahwa Qur’an selalu menghubungkan antara zakat dengan shalat, dan jarang sekali disebutkan tanpa shalat.
Sebagian ahli mengatakan bahwa kata zakat selalu dihubungkan dengan shalat terdapat pada 82 tempat di dalam Al-Qur’an, namun jumlah ini terlalu dibesar-besarkan sehingga tidak sesuai dengan perhitungan yang disebutkan tadi. Tetapi apabila yang dimaksudkan adalah kata lain yang sama maksudnya dengan zakat seperti al-infaq, al-ma’un dan tha’amal-miskin (memberi makan orang miskin) maka belum diketahui jumlahnya secara pasti namun akan berkisar antara 32 sampai 82 tempat. Mengenai kata shadaqah dan shadaqat di dalam Qur’an disebutkan 12 kali (Yusuf Qaedhawi, 2002: 39-40).
Selain zakat wajib untuk ditunaikan, zakat pun mempunyai konsekuensi bagi orang-orang yang melalaikannya.Hal ini merupakan perhatian sangat serius yang diberikan Allah SWT dan Rasul-Nya. Diantara peringatan Allah bagi orang-orang yang tidak melaksanakan zakat terdapat dalam Qur’an surat‘Ali Imran ayat 180:
•

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Depag RI, 2000: 58).

Di dalam beberapa Haditsyang lainnya, Rasulullah SAW mengancam bagi orang-orang yang tidak menunaikan zakat dengan hukuman yang berat di akhirat kelak, hal ini supaya hati yang lalai tersentak dan sifat-sifat kikir tergerak untuk berkorban. Kemudian dengan cara memberikan pujian atau pahala pula beliau menggiring manusia agar secara suka rela melaksanakan kewajiban zakat. Akan tetapi apabila masih enggan mengeluarkan zakat maka konsekuensinya dengan hukuman cambuk.
Namun demikian zakat tidak diwajibkan atas para nabi. Pendapat ini disepakati oleh para ulama, karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian terhadap dosa,sedangkan para Nabi terbebas dari hal demikian.Lagi pula, mereka mengemban misi-misi suci dari Allah SWT, disamping itu pula mereka tidak memiliki harta dan tidak diwarisi pula (Wahbah Al-Zuhayly, 2000: 89).

C. Syarat-Syarat Wajib dan Syarat Sah Pelaksanaan Zakat
Sebagaimana yang telah disebutkan disebelumnya bahwa zakat merupakan aturan bakuIslam yang wajib dilaksanakan bagi orang-orang yang telah mampu untuk melaksanakannya, maka dalam pelaksanaanya pun mempunyai persyaratan yang khusus. Zakat mempunyai beberapa syarat wajib dan syarat sah.Adapunsyarat wajib menunaikan zakat adalah merdeka, muslim, baligh, berakal, atas kepemilikan yang penuh, mencapai nisabnya dan telah mencapai hawl.(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 98)
Adapun syarat sahnya adalah niat yang menyertai pelaksanaan zakat (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 98).Hal ini sangat perlu, karena niat merupakan sebuah nilai yang melandasi semua aspek ibadah, bukan hanya zakat saja. Apabila menunaikan zakat tanpa disertai niat yang tulus maka tidak akan mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalam zakat itu sendiri.
Mayoitas para fuqaha berpendapat bahwa niat itu merupakan syarat dalam mengeluarkan zakat, karena zakat adalah ibadah, sedangkan ibadah tanpa disertai niat maka hal itu tidak sah(Yusuf Qardhawi, 2002: 780).
Apabila tidak disertai dengan niat, tidak terlepas itu tidak tahu atau pun lupa, maka zakat tersebut belum memenuhi syarat. Dengan demikian, berarti amal tanpa arti atau sama saja dengan tubuh tanpa nyawa. Niat bisa direalisasikan oleh diri sendiri atau dari orang yang mengurus harta, seperti anak-anak, harta orang gila atau harta orang safih yang tidak boleh memegang harta.Apabila walinya menunaikan zakat tanpa disertai dengan niat maka zakat tersebut tidak memenuhi persyaratan sehingga wali tersebut berkewajiban menggantinya.
Dengan demikian, segala bentuk dari syarat wajib maupun syarat sah zakat harus terpenuhi. Adapun syarat wajib zakat (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 98), yakni kefarduannya adalah sebagai berikut:
1. Merdeka
Zakat tidak diwajibkan terhadap hamba sahaya, karena hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, tuannyalah yang menjadihak milik tehadap apa yang dimilki oleh hamba sahaya tersebut. Begitu juga dengan hamba sahaya yang dijanjikan akan dimerdekakan oleh tuannya tidak wajib mengeluarkan zakat,meskipun memiliki harta, harta tersebut tidak dimiliki secara penuh.
Pada dasarnya zakat diwajibkan atas pemilik hamba sahaya, karena dialah yang memiliki harta hambanya.Oleh karena itu, dialah yang wajib mengeluarkan zakatnya, seperti halnya harta yang berada ditangan syarik (partner) dalam sebuah perusahaan dagang.
Madzhab Malik berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta milik hamba sahaya, baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna, padahal zakat pada hakikatnya hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh (Wahbah Al-Zuhayly, 2000:99).
2. Islam
Menurut kesepakatan para ulama, zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci, sedangkan orang kafir itu tidak suci. Madzhab Syafi’i berbeda pendapat dengan madzhab-madzhab yang lainnya, mewajibkan orang murtad untuk mengeluarkan zakat sebelum riddahnya terjadi, yakni harta yang dimilikinya ketika ia masih berstatus sebagai Muslim.
Menurut Madzhab Syafi’iriddah tidak menggugurkan kewajiban zakat. Berbeda dengan Abu Hanifah, dia berpendapat bahwa riddahmenggugurkan kewajiban zakat sebab orang murtad sama dengan kafir(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 99).
Adapun harta yang dimiliki sewaktu riddahberlangsung menurut madzhab Syafi’i yang paling sahih hukumnya adalah bergantung pada harta itu sendiri.Jika orang yang murtad tadi kembali memeluk agama Islam sedangkan hartanya (yang didapat sewaktu riddahnya) masih ada, maka wajib mengeluarkan zakat.
Namun para fuqaha tidak mewajibkan zakat atas orang kafir asli, kecuali dalam dua hal.Pertama, sepersepuluh. Madzhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i berpendapat terhadap kafir dzimmi. Apabila kafir dzimmi tersebut membawa dagangan yang dibawa ke Mekah dan Madinah atau ke daerah-daerah sekitarnya maka diambil seperduapuluh darinya.Baik perdagangan tersebut berupa gandum maupun minyak tanah.
Abu Hanifah berpendapat bahwa harta yang diambil dari kafir harbi dan dzimmi dengan mengajukan nisab sebagai syaratnya.Dia berpendapat khusus untuk kafir dzimmi harta yang diambil darinya adalah seperdua puluh, sedangkan untuk kafir harbi sebanyak sepersepuluh.Diambilnya harta dari mereka ini ialah sebagai balasan atas perlindungan yang mereka dapatkan dari pihak Muslim (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 99).
Menurut Madzhab Syafi’i tidak sedikit pun harta yang diambil dari mereka kecuali dengan adanya perjanjian dikalangan mereka.Oleh karena itu, apabila kafir harbi menyepakati adanya perjanjian untuk menyerahkan hartanya sebanyak sepersepuluh, maka hendaknya harta tersebut diambil, namun apabilakafir harbi tidakmenyepakati adanya perjanjian pengeluaran zakat maka harta tersebut sedikit pun tidak boleh diambil (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 99-100).
Kedua, menurut Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapatbahwa khusus untuk orang-orang nashrani yang berasal dari Bani Tughlub maka zakatnya harus dilipatgandakan karena zakat itu sendiri berfungsi sebagai upeti. Hal ini dilakukan atas tindak lanjut dari tindakan Umar r.a. Adapun menurut Maliki spesifikasi dari hal itu tidak dinashkan di dalam Islam (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 100).
3. Baligh dan berakal
Menurut madzhab Hanafi baligh dan berakal dipandang sebagai syarat dari zakat.Dengan demikian, zakat tidak diwajbkan terhadap anak kecil dan orang gila.Sedangkan menurut zumhur ulama keduanya tidak merupakan syarat.Oleh karena itu, zakat wajib dikeluarkan dari anak kecil dan orang gila oleh walinya. Pendapat ini atas dasar Hadits Nabi SAW sebagai berikut:
مَنْ وَلِيَ يَتيْْمماًً لَهُ مَا لٌ فَلُيَتَّجِرْ للَهُ وَلْيَتْرُكَهُ حَتَّى تَأ كُلَهُ الصَّدَ قَةُ

“Barang siapa yang menjadi wali seorang anak yang mempunyai harta, hendaknya dia memperdagangkan untuknya.Dia tidak boleh membiarkan harta tersebut habis dimakan zakat”(Wahbah Al-Zuhayly, 2000:100).
Dalam riwayat lain disebutkan sebagai brikut:

اِبْتَغُوْ فِيْ مَا لِ الْيَتَا مَى لاَ تَأ كُلُهَا الزَّ كَاة

“Carilah manfaat dari harta anak yatim.Harta itu tidak dimakan oleh zakat”(Wahbah Al-Zuhayly, 2000:101).
Namun demikian zakat merupakan aturan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas antar sesama, atas dasar inilah apabila harta anak-anak dikeluarkan maka itu sangat baik dan sah-sah saja, karena hal tersebut mendidik untuk bersikap dermawan, melatih sikap saling menolong, menyucikan jiwa dan lain-lain.
4. Harta yang dikeluarkan adalah harta yang wajib dizakati
Al-Qur’an tidak menafsirkn secara spesifik (khusus) tentang harta yang wajib dizakati, Al-Qur’anhanya menyebutkan harta secara gobal,artinya tidak tertuju kepada jenis-jenis harta yang akan dikeluarkan untuk zakat. Sebagai contoh kalimatkhudz min amwaa lihim shadaqatan,dalam kalimat amwalihimdisebutkan “dari disebagian harta mereka”. Kata harta dalam kalimat tersebut masih memiliki terminologi yang umum, maka peran haditslah yang menjelaskan sebenarnya harta apa yang harus dikeluarkan untuk zakat.Namun tidak jarang Qur’an pun menjelaskan jenis harta yang wajib dikeluarkan tapi tidak sespesifik Hadits.
Harta yang harus dikeluarkan untuk menunaikan zakat yang disebutkan dan diperingatkan di dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
a. Emas dan perak, firman Allah SWT dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 34 menyebutkan tentang harta ini, “Orang-orang yangmenyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan di jalan Allah,maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Sulaiman Rasjid, 1994: 195).
b. Tanaman dan buah-buahan. Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Al-An’am surat 141 yang artinya: ”Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dari memetik hasilnya (dengan bersedekah kepada fakir miskin)”
c. Barang-barang tambang yang dikeluarkan dari perut bumi. Allah SWT: “Sebagian di antara yang Kami keluarkan untuk kalian dari perut bumi”(Yusuf Qardhawi, 2002: 123).
d. Usaha/niaga misalnya usaha dagang dan lain-lain. Adapun mengenai barang dagangan, pada mulanya zakatnya diambil dalam bentuk barang dagangan. Namun, cara demikan kadang-kadang membahayakan karena barang-barang tersebut terkadang dipotong-potong atau dibelah-dibelah sehingga mengurangi kadar nilainya. Oleh karena itu, hal ini mendapat keringanan dengan alternatif yang dikeluarkan nilainya saja. Jadi, apabila barang dagang tersebut telah tiba saatnya untuk dikeluarkan zakatnya dan barang-barang tersebut dikalkulasikan sehingga nilainya sama dengan seekor lembu atau binatang sejenis lainnya, akan tetapi yang dikeluarkan zakatnya itu bukan barang dagangan tapi harga yang senilai dengan apa yang telah dialkulasikan tadi maka hal itu sah-sah saja mengingat kecenderungan barangdagangan yang rentan rusak(Syauqi Ismail Sahhatih, 2007: 173). Adapun mengenai tahun perniagaan adalah dihitung ketika mulai berniaga. Pada tiap-tiap akhir tahun perniagaan dihitung berdasarkan harta perniagaan tersebut, apabila cukup nisabnya maka wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun dipangkal tahun atau ditengah tahun tidak cukup satu nisab, namun apabila sebaliknya dipangkal tahun telah cukup satu nisab tetapi mendapatkan kerugian diakhir tahun sehingga mengakibatkan kurang dari satu nisab maka hal tersebut tidak wajib dizakati.



5. Harta yang wajib dizakati telah mencapai nisab atau senilai dengannya.

Maksudnya adalah nisab yang telah ditentukan oleh syara’.Tanpa nisab, suatu harta tidak boleh dizakati.Demikian menurut fuqaha, yakni untuk selain tanaman dan buah-buahan menurut para fuqaha Hanafi. Menurut mereka tanaman dan buahan-buahan wajib dizakati, sedikit atau banyak. Nisab zakat- yaitu batas minimal mulainya suatu harga wajib dizakati- merupakan batas apakah seseorang tergolong kaya atau fakir, artinya harta yang kurang dari batas minimal tersebut tidak perlu dikeluarkan zakatnya.
6. Harta yang dizakati adalah milik penuh
Mengenai harta milik tejadi perbedaan pendapat. Apakah harta milik tersebut adalah harta yangberada ditangan sendiri, harta milik yang berada ditangan oang lain ataukah harta yang dimiliki secara seutuhnya.
Menurut Madzab Hanafi bahwa harta yang dimiliki secara utuh dan berada ditangan sendiri benar-benar milik sendiri.Dengan demikian, binatang ternak yang digembalakan yang statusnya diwakafkan tidak boleh dizakati(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 102).
Oleh karena itu, menurut Madzhab Hanafi di atas, harta yang dimiliki secara utuh adalah harta yang tidak ada intervensi dari pihak ke-2 ataupun pihak ke-3.
Di samping itu, zakat tidak diwajibkan atas tanaman yang tumbuh di tanah yang mubah, sebab tanah tersebut tidak dimiliki.Harta yang didapat dari pinjaman (utang) juga tidak wajib dizakati karena harta tersebut tidak dimiliki secara utuh,harta ini hanya wajib dizakati oleh pemilik utama dari harta tersebut.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa harta yang harus dizakati adalah hak milik pribadi, dengan demikian seandainya seseorang memiliki sesuatutetapi tidak memegangnya seperti harta mahar seorang perempuan yang belum dimiliki olehnya, maka orang tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara utuh adalah harta yang dimiliki secara asli dan hak pengeluaran dari harta tersebut berada ditangan pemiliknya.Dengan demikian, harta yang digadaikan tidaklah wajib dizakati karena harta tersebut tidak dikuasai.Begitupun harta mubah milik publik tidak wajib dizakati (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 103).
Adapun menurut Madzhab Syafi’iberkaitan dengan harta yang dimilikisecara utuh adalah harta yang dimiliki secara asli, penuh dan ada hak untuk mengeluarkannya. Dengan demikian, seorang tuan tidak wajib mengeluarkan zakat dari harta hamba sahaya yang akan menebus dirinya karena dia belum memiliki harta tesebut. Jadi, hamba sahaya tersebut apabila dibebaskan dengan menggunakan harta zakat maka hal itu tidak bisa dilakukan mengingat harta hamba sahaya tidak dimiliki secara utuh oleh diri hamba sahaya tersebut (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 104).
Begitupun dengan harta wakaf, sama seperti pendapat-pendapat sebelumnya, Imam Syafi’i pun sepakat bahwa harta wakaf adalah harta milik umum yang tidak wajib dizakati.Hal itu dikarenakan bahwa harta wakaf adalah harta milik Allah SWT.Namun, apabila harta wakaf/tanah wakaf ada yang menyewa maka penyewa tersebut wajib mengeluarkan zakat.
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang dimiliki secara asli dan bisa dikeluarkan sesuai dengan kehendak pemiliknya.Dengan demikian, zakat tidak wajib atas harta wakaf yang tidak ditentukan.Misalnya seperti masjid, sekolah, tempat tinggal, dan lain-lain.Sebaliknya, apabila harta wakaf tersbut telah ditentukan seperti tanah, pohon maka wajib dizakati.
Disamping itu juga, menurut pendapat yang kuat bahwa zakat wajib dikeluarkan bukan saja dari harta milik pribadi secara utuh namum bisa dari hasil ghashab, hasil curian, harta yang diingkari ataupun harta yang hilang namun telah ditemukan(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 106).
7. Kepemilikan harta telah mencapai satu hawl/menurut perhitungan tahun komariah.
Rasulullah SAWbersabda : “Tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta sebelum ia mengalami ulang tahun”
Az-Zaila mengatakanbahwa suatu milik dikatakan genap setahun, yakni genap setahun dimiliki, dikarenakan harta tersebut selama itu berkembang.Maksudnya adalah yang dikeluarkan itu bukan secara keseluruhan tapi sebagian atau kelebihannya, bukan dari modal (Syauqi Ismail Sahhatih, 2007: 109). Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 219:


“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan”(Depag RI, 2000: 27).
Harta itu barulah terlihat apabila telah berusia minimal satu tahun.Hanya saja, sebab yang lahir (ulang tahun) itu kemudian didudukan pada posisi akibat (perkembangan).
Berkurangnya harta dari nisab selama satu tahun itu menurut pendapat madzhab Hanafi tidak masalah asalkan pada awal dan akhir tahun jumlahnya genap senisab.
Namun, menurut para fuqaha Syafi’i yang perlu diperhatikan mengenai senisab ialah kegenapannya pada akhir tahun.Akan tetapi, menurut pendapat yang lain, pada kedua ujung tahun baik itu awal maupun akhir tidak jadi masalah tengahnya dan itu tidak jadi perhatian.Di samping itu, ada pula yang mengatakan bahwa awal, tengah dan akhir semuanya perlu diperhatikan (Syauqi Ismail Sahhatih, 2007: 109).
Lain halnya dengan pendapat fuqaha Maliki, bagi mereka yang penting adalah keadaan harta pada akhir tahun.Sekalipun selama itu harta tersebut berkurang dari nisab, asal pada akhir tahun tetap mencapai batas satu nisab (Syauqi Ismail Sahhatih, 2007: 109).
Para fuqaha Hanbali berpendapat bahwa harta yang wajib dizakati harus tetap mencapai nisab sepanjang tahun(Syauqi Ismail Sahhatih, 2007: 109).
Dari beberapa pendapat para fuqaha di atas sudah jelas bahwa harta yang wajib dizakati adalah harta yang telah mencapai nisabnya. Adapun apabila terdapat perbedaan antara awal, tengah dan akhir tahun pada harta yang akan dizakati itu sah-sah saja terdapat perbedaan, namun apabila melihat kesimpulanakhir, tetap para fuqaha sepakat bahwa harta yang akan dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang telah mencapai batas nisabnya (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 110).

8. Harta yang akan dikeluarkan zakatnya bukan merupakan hasil dari utang
Karena zakat itu diwajibkan terhadap orang yang mampu, sedangkan orang yang mampu tidak bisa disebut mampu apabila hartanya diperoleh dari hasil utang.Bagi orang yang mempunyai utang yang meliputi seluruh harta atau sebagianya, maka dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat dengan harta yang bisa dipakai untuk membayar utangnya tersebut.Namun menurut para fuqha Hanafi selain zakat tanaman dan buah-buahan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara utang dan bertangguh (Syauqi Ismail Sahhatih, 2007: 115).
Menurut Madzhab Maliki, zakat tanaman dan buah-buahan maupun zakat ternak tetap gugur karena utang. Asy-syafi’i dengan qaul jadidnya berpendapat bahwa utang tidaklah menghalangi zakat (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 111).
Madzahab Hanbali berpendapat bahwa utang mencegah kewajiban zakat untuk harta-harta yang tak terlihat (emas, perak, uang, dan barang-barang dagangan). Pendapat ini didasari atas pernyataan Ustman bin Affan sebagai berikut:
“Bulan ini adalah bulan (dikeluarkannya) zakat kalian. Dengan demikian, barang siapa memiliki utang, lunasilah sebelum kalian mengeluarkan zakat kalian”
Dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan sebagai berikut:
“Barang siapa memiliki utang, hendaknya dia melunasi utangnya dan meninggalkan sisa hartanya”.
Pernyataan di atas dikemukakan olehUtsman bin Affan di depan para Sahabat dan tidak ada yang menyakal terhadap apa yang dikemukakan olehUtsman bin Affan tersebut (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 112).
Oleh karena itu, selain dari zakat tanaman dan buah-buahan zakat harus dikeluarkan dari harta yang tidak sedang ada dalam utang. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan zakat, utang merupakan penghalang zakat terhadap barang-barang yang bergerak sampai harta itu bisa ditanggung dan dimiliki secara utuh. Bagaimana pun utang itu bukan penghalang terhadap zakat hasil-hasil yang dikeluarkan oleh harta tetap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat difahami bahwa zakat bisa terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu zakat dari hasil yang dikeluarkan oleh harta tetap seperti zakat tanaman dan buah-buahan yang harus dizakati adalah hanya hasilnya saja dan zakat dari harta yang bergerak yaitu zakat ternak, uang dan barang dagangan,yang harus dizakati adalah modal yang telah berkembang berikut hasilnya.
Disamping syarat wajib mengeluarkan zakat, zakat dikatakan sah apabila syarat sah zakat terpenuhi.Adapun syarat sah zakat adalah dengan niat.
Pelaksanaan zakat termasuk salah satu amalan, zakat merupakan ibadah seperti halnya shalat.Oleh Karena itu dalam pelaksanaan zakat harus disertai dengan niat, hal ini dimaksudkan untuk membedakan antara ibadah yang fardlu dan nafilah.Berkaitan dengan niat ini, para fuqaha mengeluarkan pendapatnya masing-masing.
Menurut Madzhab Hanafi(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 115), zakat tidak boleh dikeluarkan kecualidengan niat yang dilakukan bersamaan dengan pemberian zakat tersebut kepada fakir.Misalnya apabila seseorang mengeluarkan zakatnya namun tanpa disertai niat tetapi setelah itu orang tersebut niat setelah harta yang dizakati telah berada ditangan mustahik.Pada mulanya niat dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan, hanya saja penyerahan zakat kepada kaum fakit miskin tidak dalam saat yang bersamaan.Oleh karena itu, niat dipandang cukup dilakukan ketika harta itu dikeluarkan zakatnya.Hal ini dimaksudkan supaya mempermudah muzakki.
Madzahab Maliki berpendapatbahwa niat disyaratkan sewaktu harta diserahkan. Bahkan niat cukup dilakukan ketika harta yang akan dizakati diserahkan secara terpaksa (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 115).
Menurut Madzhab Syafi’i, niat wajib dilakukan di dalam hati saja. Ia tidak disyaratkan dalam bahasa lisan secara lantang. Niat dipandang sah kendati pun kefardluan zakat tidak disebutkan sebab tidak ada zakat yang bukan fardlu. Mendahulukan niat sebelum harta diserahkan hukumnya adalah sahih, dengan syarat niat tersebut menyertai pelepasan harta yang dizakati (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 116).
Niat juga sudah dipandang sahih ketika ia dilakukan setelah harta itu dilepaskan dan belum dipisahkan, kendati pun niat tersebut tidak menyertai salah satu keduanya (pelepasan harta dan pemisahannya).
Harta yang dizakati boleh diserahkan kepada wakil yang termasuk keluarga, yang muslim dan mukallaf. Adapun jika wakil tersebut masih anak-anak atau kafir, maka perwakilan boleh dilakukan hanya dalam penyerahan harta dengan syarat orang-orang yang akan diberikan zakat itu telah ditentukan.
Niat wali wajib dilakukan untuk zakat anak-anak dan orang gila/orang bodoh.Apabila niat tidak dilakukan maka wali tersebut bertanggung jawab terhadap atas tindakan tersebut.
Begitu juga menurut Madzhab Hanbali, niat adalah menyatakan sebuah tekad bahwa harta yang dizakati itu adalah zakat yang dikeluarkan oleh diri sendiri atau zakat yang dikeluarkan dari orang yang diwakili seperti anak kecil atau orang gila.Niat tempatnya di dalam hati, sebab semua pernyataan tekad tempatnya di dalam hati. Hal itu dengan catatan apabila jarak waktunya sebentar, seperti halnya ibadah-ibadah yang lain(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 116).
Apabila seseorang menyerahkan zakat kepada wakil dan orang tersebut berniat sedangkan wakilnya tidakmaka hukumnya diperbolehkan, dengan catatan didahulukannya niat dari penyerahan tidak terjadi dalam waktu yang sama.Apabila niat itu mendahului penyerahan zakat dalam waktu yang lama maka hukumnya tidak diperbolehkan.Kecuali jika orang tersebut telah berniat ketika menyerahkan hartanya kepada wakilnya dan wakilnya pun berniat ketika menyerahkan harta tersebut.Akan tetapi, apabila seorang imam mengambil zakat secara terpaksa maka zakat tersebut dipandang cukup tanpa niat karena uzur dalam berniat mengugurkan kewajiban zakat (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 114).







D. Rukun-Rukun Zakat
Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nisab, dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir dan menyerahkannya kepada atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya, yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 97-98).

E. Macam-Macam Zakat
Secara umum, zakat terbagi menjadi dua(Sulaiman Rasjid, 1994: 207), yaitu zakat fitrah zakat maal.Zakat Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslimyang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Kata fitrahyang ada merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan sehingga dengan mengeluarkan zakat ini manusia dengan izin Allahakan kembali fitrah.
Pada prinsipnya seperti definisi di atas, setiap Muslimdiwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. Berikut adalah syarat yang menyebabkan individu wajib membayar zakat fitrah(Sulaiman Rasjid, 1994: 208):
a. Individu yang mempunyai kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan tanggungannya pada malam dan pagi hari raya.
b. Anak yang lahir sebelum matahari jatuh pada akhir bulan Ramadhan dan hidup selepas terbenam matahari.
c. Memeluk Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadhan dan tetap dalam Islamnya.
d. Seseorang yang meninggal selepas terbenam matahari akhir Ramadhan.

1. Ketentuan besaranzakat fitrah
Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai penafsiran terhadap Haditsadalah sebesar satu sha' atau kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.5 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith dan lain-lain) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan.
2. Waktu Pengeluaran
ZakatFitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan Shalat Ied.Jika waktu penyerahan melewati batas ini maka yang diserahkan tersebut tidak termasuk dalam kategori zakatmelainkan sedekah biasa.
3. Penerima Zakat
Penerima Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan/asnaf (fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil) namun menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan pertama yaknifakir dan miskin.Pendapat ini disandarkan dengan alasan bahwa jumlah/nilai zakat yang sangat kecil sementara salah satu tujuannya dikeluarakannya zakat fitrah adalah agar para fakir dan miskin dapat ikut merayakan hari raya.
Sebagaimana aturan-aturan yang Allah SWT diberikan tentunya tidak terlepas dari hikmah, begitu halnya dengan zakat fitrah. Adapun hikmah dari zakat fitrah adalah(Sulaiman Rasjid, 1994: 217):
a. Zakat fitrah merupakan zakat diri, di mana Allah SWT memberikan umur panjang baginya sehingga ia bertahan dengan nikmat-Nya.
b. Zakat fitrah juga merupakan bentuk pertolongan kepada umat Islam, baik kaya maupun miskin sehingga mereka dapat berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan bersukacita dengan segala anugerah nikmat-Nya.
c. Hikmahnya yang paling agung adalah tanda syukur orang yang berpuasa kepada Allah atas nikmat ibadah puasa.
Kaitan dengan hal ini zakat adalah harta pemberian Allah SWT sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada Allah SWT.Disamping pembersih harta milik dan pensuci jasmani, zakat fitrah juga menunjukan kebaktian kepada Allah SWT serta menghidupkan kejiwaan tolong menolong.
Adapun zakat maal adalah zakatyang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hukum (syara).Maal berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti harta.
Harta yang akan dikeluarkan sebagai zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Milik Penuh, yakni harta tersebut merupakan milik penuh individu yang akan mengeluarkan zakat.
2. Berkembang, yakni harta tersebut memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
3. Mencapai nisab, yakni harta tersebut telah mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan, harta yang tidak mencapai nishab tidak wajib dizakatkan dan dianjurkan untuk berinfak atau bersedekah.
4. Lebih dari kebutuhan pokok, artinya harta yang dizakati merupakan harta yang lebih setelah kebutuhan minimal/pokok untuk hidupnya sudah terpenuhi.
5. Bebas dari utang, bila individu memiliki utang yang bila dikonversikan ke harta yang dizakatkan mengakibatkan tidak terpenuhinya nisab, dan akan dibayar pada waktu yang sama maka harta tersebut bebas dari kewajiban zakat.
6. Berlalu satu tahun (al-hawl), kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun khusus untuk ternak, harta simpanan dan harta perniagaan. Hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz(barang temuan) tidak memiliki syarat hawl.
Disamping syarat-syarat harta yang dikeluarkan, jenis-jenis harta yang dikeluarkan zakatnya adalah:
1. Zakat Emas dan Perak, ketentuan-ketentuanya adalah:
a. Mencapai hawl.
b. Nisab emas 20 misqal, beratnya 93,6 gram maka zakatnya 1/40 (2 ½ %= ½ misqal=2,125 gram. Adapun perak yaitu: nisab perak 200 dirham(624 gram), maka zakatnya 1/40 (2 ½ %= 5 dirham/15,6 gram (Sulaiman Rasjid, 1994: 202).
2. Zakat Simpanan, ketentuan-ketentuannya adalah:
a. Uang simpanan dikenakan zakat dari jumlah saldo akhir bila telah mencapai hawl.Besarnyanisabsenilai85gram emas.Besaran zakat yang harusdikeluarkan 2,5 %.
b. Zakatsimpanantabungan saldo akhir yang wajib dikeluarkannya adalah=saldoakhir - bagi hasil/bunga, besar zakatnya: 2,5 % x saldo akhir zakat simpanan deposito. Penghitungannyasama dengan zakat simpanan tabungan.

3. Zakat perusahaan, ketentuannya adalah:
a. Telah mencapai hawl.
b. Mencapai nishab 96 gr emas.
c. Besar zakatnya 2,5 %.
c. Dapat dibayar dengan barang atau uang .
d. Berlaku untuk perusahaan seperti CV, PT, koperasi dan lain-lain. Adapun rumus perhitungannya (Muhammad Yusuf dan Junaedi, 2006: 152) adalah:
Zakat Perusahaan=2,5% x (Aktiva Lancar–Kewajiban Lancar)

4. Zakat hadiah, ketentuannya adalah:
a. Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka ketentuannya sama dengan zakat profesi dan dikeluarkan pada saat menerima hadiah. Besar zakat yang dikeluarkan 2,5%.
b. Jika komisi, terdiri 2 bentuk: Pertama, jika komisi dari hasil presentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai, maka zakat yang dikeluarkan sebesar 10%. Kedua, jika komisi dari hasil profesi misalnya makelar, maka zakatnya seperti zakat profesi.
5. Zakat profesi, ketentuannya adalah:
a. Mencapai nishab setara 520 kg.
b. Besar zakat 2,5.
c. Menghitungdari pendapatan kasar (brutto).
Rumusnya adalah:
Besar Zakat Profesi = (Pendapatan Total ) x 2,5 %

d. Menghitung dari pendapatan bersih (netto).
Rumusnya adalah:
Zakat Profesi = (Pendapatan Total - Pengeluaran per Bulan) x 2,5 %

e. Pengeluaran per bulan adalah pengeluaran kebutuhan primer (sandang, pangan danpapan).

6. Zakat hasil pertanian.
Apabila tumbuhnya zakat pertanian itu karena siraman air hujan, sumber air, bendungan, nisabnya 5 wasaq (± 700 kg) maka zakat yang dikeluarkan 10 %. Apabila tumbuhnya tanaman memakai tenaga manusia atau mesin dengan biaya pengairan, maka sama yaitu 750 kg, sedangkan zakatnya 5%.Jika selain makanan pokok, maka nishabnya disamakan dengan makanan pokok paling umum di daerah bersangkutan.
Dahulu orang berbeda pendapat tentang zakat hasil tanaman selain padi dan makanan yang mengenyangkan.Karena padi sebenarnya tidak disebutkan zakatnya, yang disebutkan adalah gandum, kurma.Pendeknya makanan yang mengenyangkan pada waktu itu.Maksudnya dahulu orang berbeda pendapat apakah hasil tanaman yang tidak mengenyangkan tetapi mempunyai harga jual tinggi tidak perlu dizakati.Sebagian ulama berpendapat selain yang mengenyangkan tidak perlu dizakati, tetapi sebagian lain sekalipun tidak mengenyangkan perlu dizakati juga.
7. Zakat tijarah (perniagaan)
Adalah semua bentuk harta yang dipromosikan untuk diperjualbelikan dengan bermacam-macam cara serta membawa manfaat bagi kebaikan dan kesejahteraan manusia.
Nisab harta perniagaan adalah menurut pokoknya.Apabila pokoknya adalah emas maka nisabnya seperti emas.Apabila pokoknya adalah perak maka nisabnya seperti perak.Oleh krena itu perhitungannya berdasarkan pokoknya tersebut (Sulaiman Rasjid, 1994: 196).
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 267:
•
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”(Depag RI, 2000: 35).

8. Zakat Hewan
Apabila unta, kambing atau sapi sampai pada nisabnya, yaitu 5 ekor unta, 40 ekor kambing, atau 30 ekor sapi, sedang telah setahun telah jadi milik sendirimaka keluarakan zakatnya. Adapun ketentuannya yang wajib dikeluarkan dari unta adalah:
Nisab Zakatnya

Bilangan dan jenis zakatnya Umur
5-9 1 ekor kambing atau
1 ekor domba 2 tahun lebih
1 tahun lebih
10-14 2 ekor kambing atau
2 ekor domba 2 tahun lebih
1 tahun lebih
15-19 3 ekor kambing atau
3 ekor domba 2 tahun lebih
1 tahun lebih
20-24 4 ekor kambing atau
4 ekor domba
2 ahun lebih
1 tahun lebih
25-35 1 ekor anak unta 1 tahun lebih
36-45 1 ekor anak unta 2 tahun lebih
46-60 1 ekor anak unta 3 athun lebih
61-75 1 ekor anak unta 4 tahuin lebih
76-90 2 ekor anak unta 2 tahun lebih
91-120 2 ekor anak unta 3 tahun lebih
121 3 ekor anak unta 2 tahun lebih

Kambing,ketentuannya adalah:
nisab Zakatnya
Bilangan dan jenis zakatnya umur
40-120 1 ekor kambing betina atau
1 ekor domba betina 2 tahun lebih
1 tahun lebih
120-200 2 ekor kambing betina atau
2 ekor domba betina 2 tahun lebih
1 tahun lebih
201-399 3 ekor kambing betina atau
3 ekor domba betina 2 tahun lebih
1 tahun lebih
400 dan seterusnya 4 ekor kambing betina atau
4 ekor domba betina 2 ahun lebih
1 tahun lebih

Sapi, ketentuannya adalah:
nisab Zakatnya
Bilangan dan jenis zakatnya umur
30-39 1 ekor anak sapi atau 1 ekor kerbau 2 tahun lebih
40-59 1 ekor anak sapi atau 1 ekor kerbau 2 tahun lebih
60-69 2 ekor anak sapi atau 1 ekor kerbau 1 tahun lebih
70 dan seterusnya 1 ekor anak sapi atau 1 ekor kerbau 2 ahun lebih


Adapaun Syarat hewan yang wajib dizakati mencakup:
a. Milik orang Islam.
b. Yang memiliki adalah orang merdeka.
c. Milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh).
d. Sampai nisabnya.
e. Genap satu tahun.
f. Makannya dengan pengembalaan, bukan dengan rumput belian.
g. Binatang itu bukan digunakan untuk bekerja seperti angkutan dan sebagainya.
9. Zakat rikaz.
Harta Rikaz yang berwujud emas atau perak ditemukan peninggalan masapurba wajib dikeluarkan zakatnya 20 %.



F. Sebab-Sebab Zakat
Menurut madzhab Hanafipenyebab zakat adalah adanya harta milik yang telah mencapai nisab dan harta tersebut adalah harta produktif, kendatipun kemampuan produktifitasnya baru sebatas perkiraan.Dengan syarat kepemilikan harta tersebut telah berlangsung satu tahun, yakni tahun qamariyah bukan tahun syamsiah dan pemiliknya tidak memiliki utang yang berkaitan dengan hak manusia.Syarat yang lainnya melebihi kebutuhan pokok (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 95).

G. Waktu Pengeluaran Zakat
Sebagaimana yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa kewajiban zakat terbagi menjadi dua bagian, yang pertama yaitu kewajiban umum kepada setiap muslim, baik itu anak-anak, orang tua, orang mampu maupun fakir miskin. Ruang lingkup zakat ini termasuk kedalam zakat fitrah.Adapun yang kedua adalah kewajiban khusus kepada orang-orang yang digolongkan mampu, memiliki harta dan telah mencapai batas nishabnya, maka zakat ini diketegorikan kedalam zakat maal (zakat harta).
Ulama Islam telah sepakat bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan pada waktu bulan Ramadhan, hal ini berdasarkan haditsUmar:
“Telah mewajibkanRasulullah SAW pada bulan Ramadhan”.
Namun terkait batasan waktu pengeluaran zakat fitrah para ulama berbeda pendapat, menurut Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Tsauri dan Imam Malik dalam salah satu riwayatnya bahwa zakat fitrah itu wajib dengan sebab terbenamnya matahari pada akhir di bulan Ramadhan, karena zakat fitrah itu diwajibkan untuk mensucikan orang yang berpuasa, sedangkan puasa itu berakhir dengan sebab terbenamnya matahari , yang karena wajib zakat fitrah itu(Yusuf Qardhawi, 2002: 958).
Sebenarnya masalahnya sederhana, perbedaan pendapat ini dikarenakan pada anak yang dilahirkan setelah terbenamnya matahari dan sebelum terbit fajar dihari raya, hal itu menimbulkan perbedaan pendapat apakah wajib zakat baginya ataukah tidak.Demikian pula dengan mukallaf yang meninggal dunia pada waktu tersebut.
Adapun terkait waktu kewajiban mengeluarkan zakat maal/harta para fuqaha sepakat untuk menyegerakan mengeluarkan wajib zakatnya dengan syarat telah terpenuhi syarat-syaratnya, baik itu nisab, hawl maupun yang lainnya.Pendapat ini dikemukakan oleh madzahab Hanafi.Dengan demikian, barang siapa berkewajiban mengeluarkan zakat dan mampu mengeluarkannya maka dia tidak boleh menangguhkannya. Dia akan berdosa jika mengakhir-akhirkan pengeluaran zakat tanpa ada uzur.
Selanjutnya menurut Madzahab Hanafi, kesaksiannya tidak akan diterima karena zakat merupakan hak yang wajib diserahkan kepada manusia atau mustahik. Hal ini dimaksudkan karena harta yang akan dikeluarkan merupakan kebutuhan bagi mustahik.
Namun demikian, zakat harus ditunaikan sesuai dengan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Pertama, zakat harta berupa emas, perak, barang dagangan dan binatang ternak yang digembalakan dibayar setelah sempurnanya hawl satu kali dalam setiap tahun.
Kedua, zakat tanaman dan buah-buahan dibayarkan ketika berulang masa panen, meskipun masa panen tersebut terjadi berulang kali dalam setahun.Dengan demikian, untuk harta jenis yang kedua ini tidak disyaratkan mencapai masa hawl.Menurut madzhab Hanafi,harta jenis kedua ini tidak disyaratakan harus mencapai nisab sedangkan menurut jumhur harta tersebut harus mencapai nisab.
Mengenai waktu wajib dikeluarkannya sepersepuluh dari tanaman dan buah-buahan terdapat perbedaaan pendapat.Abu Hanifah dan Zaffar berpendapat bahwa zakat harta tersebut wajb dikeluarkan ketika munculnya buah-buahan dan selamat dari pembusukan walapun buah-buahan tersebut belum layak dipanen.Dengan catatan, jumlahnya mencapi batas yang bisa dimanfaatkan.Adapun menurut Al-Dardir Al-Maliki, zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah baik kualitasnya, sudah layak dimakan, dan tidak memerlukan pengairan lagi, tidak dikeringkan, tidak dipanen, dan tidak dibersihkan. Yang dimaksud dengan buah-buahan yang telah baik adalah tumbuhnya bunga pada kurma muda dan munculnya rasa manis pada anggur.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa zakat buah-buahan wajib dikeluarkan ketika ia telah layak dan bijinyatelah padat karena pada saat itu, buah-buahan itu telah tumbuh dengan sempurna, sedangkan sebelumnya ia masih berupa bunga dan bijinya sudah bisa dimakan, sebelumnya ia masih berupa sayur mayur lunak. Maksud pewajiban zakat yang telah disebutkan diatas tidak berarti bahwa ia wajib dikelurkan sesegera mungkin. Akan tetapi, maksudnya ialah bahwa hal-hal yangtelah disebutkan diatas merupakan sebab wajib dikeluarkannya kurma, anggur,dan biji-bijian.
Pendapat ini dikemukakan mengingat bahwa makanan yang dikeringkan, dibersihkan, dipecahkan diinjak-injak, dibawa, dan keperluan-keperluan yang lainnya tidak termasuk harta yang wajib dizakati.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa zakat wajib dikeluarkan ketika biji-bijian telah gemuk, jika tanaman itu berupa biji-bijian dan jika tanaman tersebut berupa buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya ketika buah-buahan tersebut sudah layak dimakan.
Dalam pandangan Hanbali dan Hanafi, madu wajib dikeluarkan zakatnya ketiak ia telah wajib untuk dizakati. Zakat barangtambang dikeluarkan ketika harta tersebut sudah dikeluarkan.

H. Yang Berhak Menerima Zakat
Orang-orang yang berhak menerima zakat hanya mereka yang telah disebutkan oleh Allah SWT di dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 60 sebagai berikut:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagiMaha Bijaksana”(Depag RI, 2000: 156).

Ayat di atas merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat.Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-msing kelompok tersebut.
Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanbali(Sulaiman Rasjid, 1994: 212), maksud dari fakir adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan tidak mempunyai pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Orang fakir tersebut tidak memiliki keluarga yang dapat menanggung hidupnya baik itu untuk membeli makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.Misalnya, kebutuhan sehari-harinya adalah sepuluh ribu, namun orang fakir tersebut hanya mampu mendapatkan tidak lebih dari tiga ribu, sehingga meskipun orang fakir tersebut sehat orang tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan pakaian.
Sama seperti halnya fakir, kategori kedua dari delapan mustahik zakat adalah miskin.Namun peredaannya orang fakir sama sekali tidak bisa memenuhi sisi kehidupa ekonominya serta tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaanakan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi hajat hidupnya.
Menurut Madzhab Syafi’i(Sulaiman Rasjid, 1994: 213), orang miskin adalah yang mempunyai harta atau usaha sebanyak seperdua kecukupannya atau lebih, tetapi tidak sampai mencukupi. Yang dimaksud kecukupan ialah cukup menurut umur biasa, 62 tahun.Apabila terdapat orang pada umur 62 tahun tetapi kehidupannya tercukupi maka orang tersebut dikatakan kaya, orang tersebut tidak berhak mendapat zakat.
Kategori yang ketiga adalah amil atau panitia zakat.Panitia zakat adalah orang-orang yang bekerja memungut zakat.Panitia ini diharapkan mempunyai sifat jujur, amanah, adil dan menguasai hukum zakat.Hal itu sangatlah penting mengingat zakat harus dibagikan secara merata tanpa ada ketimpangan-ketimpangan.
Menurut Madzhab Hanafi(Sulaiman Rasjid, 1994: 211), amil adalah orang yang diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat. Menurut madzhab Maliki, amil adalah pengurus zakat, pencatat, pembagi, penasihat yang bekerja untuk kepentingan zakat.Adapun menurut madzhab amil haruslah memiliki syarat, syaratnya adil dan menguasai hokum-hukum yang berkaitan dengan zakat dan permasalahnnya.
Menurut Madzhab Hanbali, amil adalah pengurus zakat, dia diberi zakat sekedar upah atas pekerjaannya (sepadan dengan upah pekerjaanya). Selain itu, menurut madzhab Syafi’i, amil adalah semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapatkan upah selain dari zakat itu(Sulaiman Rasjid, 1994: 213).
Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar para fuqaha mendefinisikan sama terhadap amil, namun yang paling penting dari amil adalah peran dan fungsi serta tugasnya dalam mengurusi zakat.
Adapun untuk tugas-tugas dari amil meliputi penghimpunan zakat dari masyarakat, dan mendistribusikan kembali kepada para mustahik di lingkungan tersebut, serta tugas-tugas turunan seperti pencacatan, pemeliharaan dan melakukan investigasi untuk menentukan orang-orang yang berhak menerima zakat serta orang-orang yang harus membayar zakat.Amil zakat juga bertugas memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang hukum zakat.
Kategori yang keempat dari delapan asnaf yang berhak menrima zakat adalah mukallaf.Yang termasuk kedalam kelompok ini antara lain orang-orang yang lemah niatnya untuk masuk Islam. Mereka diberi bagian dari zakat agar niat mereka untuk masuk islam menjadi semakin kuat. Mereka ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu muslim dan kafir.
Kelompok kafir terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu orang-orang yang diharapkan kebaikannya bisa muncul, dan orang-orang yang ditakuti kejelekannya.Hal ini terjadi ketika masa Rasulullah SAW, Rasulullah SAW pernah memberikan sesuatu kepada orang kafir untuk menundukan hatinya agar mereka bersedia masuk kedalam agama Islam.
Di dalam kitab Shahih Muslim, Rasul SAW pernah memberi kepada Abu Safyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyaynah bin Hishn, Al-Aqra’ bin Habis dan Abbas bin Mirdas. Setiap orang dari mereka diberi seratus ekor unta. Di samping itu juga, Rasul saw pernah memberi ‘Alqamah bin ‘Allatsah dari harta benda yang diperoleh dari rampasan perang Hunayn(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 283).
Para ulama berselisih pendapat dalam memberikan bagian zakat kepada muallafketika mereka belum masuk Islam. Madzhab Maliki dan Hanbali mengatakan mereka diberi bagian agar tetarik kepada Islam, karena sesungguhnya Nabi SAW pernah memberikan kepada muallaf yang muslim dan muallaf dari kaum kafir.
Di samping itu, Madzhab Syafi’i (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 284) mengatakan pemberian bagian zakat kepada orang kafir, pada masa awal Islam bukanlah untuk menundukan mereka atau yang lain, akan tetapi karena pada masa itu jumlah kaum Muslimin masih sedikit sedangkan jumlah kaum kafirin terhitung banyak dan Allah SWT ingin memuliakan Islam dan kaum Muslimin serta untuk menunjukan bahwa mereka tidak memerlukan belas kasihan orang-orang kafir.
Pada zaman setelah Rasul SAW, yaitu tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin,orang-orang kafir tidak lagi bagian zakat. Berkaitan dengan hal ini, Umar r.a. mengatakan:
“Kami tidak memberikan sesuatu agar orang mau masuk Islam, siapa yang bersedia masuk Islam, masuklah, dan siapa yang tidak mau, terserah kepadanya untuk kafir” (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 284).
Adapun muallaf yang sudah masuk Islam boleh diberi bagian zakat, hal ini dikarenakan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Mereka adalah orang-orang yang lemah niatnya (imannya), mereka diberi zakat agar imannya semakin kuat.
2. Kepala suku yang berstatus Islam yang dihormati oleh kaumnya, mereka diberi zakat agar tetap dengan pendiriannya dengan agama islam. Hal ini pernah terjadi dimasa Rasul SAW, Rasul SAW pernah memberi zakat kepda Abu Safyan bin Harb. Rasul SAW pun pernah memberi zakat kepada Al-Zabarqan bin Badr dan ‘Adiy bin Hatim, keduanya dikarenakan sangat dihormati olehkaumnya.
3. Kaum Muslimin yang bertempat tinggal yang berbatasdengan penduduk kaum kafir. Hal ini dimaksudkan agar kaum muslimin tersebut tidak berpaling kepada kaum kafirin (pindah agama).
4. Orang yang memungut zakat dari kaum yang tidak memungkinkan pengiriman zakatdikarenakan stuasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, meskipun pada dasarnya mereka tidak enggan mengeluarkan zakat.
Adapun pembagian dari golongan mustahik zakat yang kelima adalah hamba sahaya. Hamba sahaya yang dimaksudkan di sini menurut jumhur ulama adalah para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannyauntuk dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk membayar tebusan atas dirinya.Oleh karena itu, sangat dianjurkan memberikan zakat kepada hamba sahaya agar mereka dapat memerdekakan diri mereka.Hal ini ditegaskan pula oleh Allah SWT dalam Qur’an surat An-Nuur ayat 33:
•
“DanberikanlahkepadamerekasebahagiandarihartaAllahyangdikaruniakan-Nyakepadamu”(Depag RI, 2000: 282).
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas ialah hamba sahaya yang telah mendapat jaminan dari tuannya untuk dimerdekakan(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 286).
Hampir semua ulama empat madzhab mendefinisikan seragam terhadap hamba sahaya sebagaimana yang telah disebutkan di dalam QS An-Nuur ayat 33.Madzhab Maliki mengatakan bahwa para budak itu hendaknya dibeli dengan bagian zakat yang mereka terima sehingga mereka bisa merdeka karena setiap kali kata perbudakan disebutkan di dalam Al-Qura’an, di tempat itu juga ada anjuran bahwa mereka hendaknya dimerdekakan.
Adapun syarat pembayaran zakat budak yang dijanjikan untuk dimerdekakan ialah budak tersebut harus beragama Islam dan memerlukan bantuan(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 286).
Golongan yang mendapat zakat sebagaimanadisebutkan Allah SWT di dalam surat At-Taubah ayat 60 yang keenam adalah orang yang memiliki utang, baik itu utang untuk dirinya sendiri maupun bukan. Apabila utang tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri maka dia tidak berhak mendapat bagian dari zakat terkecuali orang tersebut adalah seorang yang dianggap fakir.Namun, apabila utang itu untuk kepentingan orang banyak yang berada di bawah tanggungannya maka orang tersebut berhak menerima zakat.
Berkaitan dengan orang yang berutang ini, Rasul SAW bersabda:
لاَ تَحِلُ الصَّد قَةُ لِغَنِيّ ٍ اِ لاَّ خَمْسَةٌ لِغَازٍ فِي سَبِليْلِ اللَّهِ اَوْ لِعَا مِلِ عَلَيْهَا اَوْ لِغَارِممٍ اَوْ لِرَجِلٍ اِشْتَرَاهَا بِمَا لِهِ اَوْ لِرَجُلٍ لَهُ جَا رٌ مِسْكِيْنٌ فَتَصَدَّ عَلَى الْمِسْكِيْنِ فَأ هَدَى الْمِسْكيْنُ اِليْهِ

“Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya kecuali ila ada salah satu dari lima sebab di bawah ini, orang yang berjuang di jalan Allah SWT, panitia zakat, berutang, orang yang menebus dirinya orang yang mempunyai tetangga yang miskin lalu diberikan kepadanya, tetapi orang miskin itu menghadiahkannya kembali kepadanya” (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 287).

Dalam menyikapi permasalahan terkait orang yang berutang, madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang berutang adalah orang yang mempunyai utang sedangkan jumlah hartanyadi luar utang tidak cukup untuk satu nisab; dia diberi zakat untuk membayar utangnya.
Menurut Madzhab Maliki(Sulaiman Rasjid, 1994: 212) orang yang berutang adalah orang yang mempunyai utang, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar utangnya, utangnya dibayar dari zakat apabila dia berutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
Adapun menurut Madzhab Hanbali orang yang berutang terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang yang berutang untuk mendamaikan orang lain yang berselisih. Dan yang kedua adalah orang yang berutang unuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi dia sudah bertaubat, maka dia diberi zakat sesuai dengan kadar utangnya(Sulaiman Rasjid, 1994: 212).
Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i(Sulaiman Rasjid, 1994: 213), orang yang berutang terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: orang yang berutang karena mendamaikan dua orang yang sedang berselisih. Kedua adalah orang yang berutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada keperluan yang mubah atau yang tidak mubah tetapi dia sudah bertaubat. Dalam hal ini kiranya pendapat MadzhabHanbali dan Madzhab Syafi’i terdapat kesamaan. Yang ketiga adalah orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, sedangkan dia dan oragn yang ditanggung utangnya tidak mampu melunasi utang tersebut.
Namun menurut Madzhab Syafi’i, yang kedua dan yang ketiga diberi zakat apabila dia tidak sanggup membayar utangnya.Tetapi yang pertama diberi zakat sekalipun orang yang berutang tersebut dikategorikan kaya(Sulaiman Rasjid, 1994: 213).
Selanjutnya dari kategori mustahik zakat yang ketujuh adalah sabilillah.Sabilillah atau yang sering disebut adalah pejuang atau tentara yang berjuang di jalan Allah yang tidak digaji oleh markas atau negara. Terkait dengan sabilillah ini, Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Ash-Shaf ayat 4:
••

“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kukuh”(Depag RI, 2000: 440).

Menurut jumhur ulama(Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 288), orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.Hal ini sangatlah logis kenapa orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi zakat dikarenakan orang-orang tersebut di samping berperang untuk Allah, dalam peperangannya pun tentara tersebut tidak selamanya tercukupi kebutuhan logistiknya.Adapun tentara-tentara yang dibayar markas atau negara tidak diberi bagian zakat dikarenakan tentara-tentara tesebutsudah terpenuhi kebutuhan logistiknya.
Abu Hanifah berpendapat (Wahbah Al-Zuhayly, 2002: 288), bahwa orang-orang yang berperangdi jalan Allah tidak perlu diberi zakat terkecuali orang-orang tersebut adalah orang fakir.
Ibnu Asir berpendapat (Sulaiman Rasjid, 1994: 214), makna dari sabilillah adalahsemua amal kebaikan yang dimaksudkan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan terbatas hanya pada peperangan saja.
Sedangkan menurut Muhammad Rasyid (Sulaiman Rasjid, 1994: 214) berpendapat bahwa sabilillah yang dimaksud di sini adalah beberapakemashlahatan muslimin umumnya yang menambah kekuatan agama Islam dan negaranya, bukan untuk perseorangan.
Yang terakhir dari kategori mustahik zakatsebagaimana disebutkan Allah SWT di dalam surat At-Taubah ayat 60 adalah musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan.Orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang-orang yang bepergian untuk hal-hal yang bersifat positif (tha’ah) dan bukan bermaksud maksiat. Orang ini diperkirakan tidak akan mencapai maksud dan tujuannya jika tidak dibantu oleh sesama muslim. Sesuatu yang termasuk perbuatan baik adalah ibadah haji,berperang di jalan Allah, ziarah yang dianjurkan dan lain-lain.

I. Hikmah zakat
Tidak bisa dipungkiri bahwa rizki Allah SWT yang diturunkan kepada manusia itu berbeda-beda.Hal ini menjadi sorotan penting dari Allah SWT terhadap manusia.
Dalam kaitannya dengan perbedaan rizki ini Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat An-Nahl ayat 71:

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”(Depag RI, 2000: 219).

Dari ayat di atas, disebutkan bahwa Allah SWT melebihkan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya dalam hal rizki, hal itu bukan berarti Allah tidak adil namun hal yang demikian dimaksudkan agar manusia mau berikhtiar, saling tolong menolong, tenggang rasa, mempunyai rasa simpati yang tinggi dan lain-lain sehingga senergitas antara individu yang satu dengan yang lainnya dapat tercipta. Hal ini tidak terlepas dari fitrah manusia sebagai homo socius, yaitu makhluk yang saling berinteraksi satu sama lain.
Dengan kelebihan hartanya, orang yang mampu dapat menyisihkan sebagian hartanya kepada orang yang tidak mampu secara materi, karena di dalam harta itu terdapat hak-hak orang lain, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 19:


“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”(Depag RI, 2000: 416).
Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa agama Islam mengajarkan konsep simbiosis mutualisme. Maksudnya, dengan adanya hak orang lain maka orang yang mampu dapat menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang tidak mampu, dalam hal ini tentu saja bagi orang yang mengeluarkan zakat akan mendapatkan pahala dan mensucikan dirinya. Dan bagi orang yang tidak mampu akan mendapatkan materi dari harta orang-orang yang telahmengeluarkan zakat tersebut.
Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang zakat dan sedekah dapat disimpulkan bahwa harta benda mempunyai sifat humanis.Fungsi tersebut ditetapkan Allah atas dasar kepemilikan-Nya yang mutlak terhadap segala sesuatu di alam raya ini termasuk harta benda.
Dari uraian di atas, sistem yang mengatur pola perputaran rizki Allah antara orang mampu dengan orang yang tidak mampu terkumpul di dalam konsep zakat.Di samping itu juga zakat merupakan pusat perputaran meliputi bidang ekonomi, sosial dan moralseperti pada masa Rasulullah SAW.
Dalam bidang moral, zakat mengikis habis ketamakan dankeserakahan orang-orang yang mampu.Dalambidang sosial zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan orang-orang yang mampuakan tangungjawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi sangat besar dan berbahaya ditangan pemiliknya.
Disamping itu juga,jika shalat merupakan ibadah individual yang langsung berhubungan dengan Allah dalam arti kata komunikasivertikal, maka zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia dalam ruang lingkup komunikasi horizontal.Zakat merupakan ibadah transendental, artinya selain bermanfaat untuk sesama, zakat juga berpengaruh terhadap keimanan.







BAB III
BIOGRAFI YUSUF QARDHAWI

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan Yusuf Qardhawi
Perjalanan hidup orang-orang besar hampir memiliki kesamaan, mereka berasal dari keluarga biasa-biasa saja, miskin, telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Namun dengan segala keterbatasan tersebut tidak lantas menyurutkan orang-orang besar itu menjadi patah arang untuk mencapai kesuksesan. Justru sebaliknya, hal ini menjadi dorongan untuk lebih maju, tegar dan kokoh dan bersemangat meraih cita-cita.
Hal itu pun terjadi dengan sosok Yusuf Qardhawi, sosok Yusuf Qardhawi tak jauh dari kegetiran hidup. Namun dibalik kegetiran itu Allah SWT menganugrahkan kebesaran, kepintaran, kesalehan perilaku dan budi pekerti. Dua potensi inilah yang membuatnya dikenal sebagai Allamah (orang alim), Syaikh dan guru besar sejak masih muda.
Yusuf Qardhawi lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shaft Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926 M dengan nama lengkap Yusuf Abdullah Qardhawi. Yusuf Qardhawi berasal dari keluarga Al-Qardhawiyah. Secara kuantitas Al-Qardhawiyah adalah keluarga yang tidak terlalu besar. Qardhawiyah merupakan keturunan dari satu orang, yaitu kakek Yusuf Qardhawi yang bernama Haji Ali Al-Qardhawi.
Keluarga Qardhawi atau nenek moyang Yusuf Qardhawi merupakan keluarga yang bermigrasi dari daerah lain, asal usul keluarga tersebut berasal dari sebuah daerah yang bernama Al-Qardhah dan keturunannya dinisbatkan kepada nama daerah tersebut, sehingga dikenal dengan sebutan Al-Qaradhawi (huruf ra difatahkan) dan bukan Al-Qardhawi (dengan mensukunkan huruf ra) seperti yang biasa diucapkan orang-orang.
Di sini yang penting bahwa asal usul keluarga Yusuf Qardhawi di Shaft Turrab bermula dari kakeknya yang dikenal dengan nama Haji Ali. Dia memiliki seorang saudara laki-laki yang bernama Muhammad. Ada yang mengatakan bahwa saudaranya tersebut pindah dari Shaft Turrab dan menetap di kota Kafr Az-Ziya (Yusuf Al-Qardhawi, 2003: 100).
Ayah Yusuf Qardhawi adalah seorang petani yang wafat pada saat Qardhawi berusia dua tahun, sehingga ia dipelihara oleh pamannya dan hidup bergaul dengan putra putri pamannya yang dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Saat berusia tujuh tahun, ia belajar pada sekolah Al-Ilzamiyah pada pagi hari dan sore harinya ia belajar Al-Quran. Pada usia itu ia telah hafal al-Quran dan menguasai Ilmu Tilawah ( Yusuf Al-Qardhawi, 2003: 133).
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Thantha (Yusuf Al-Qardhawi, 2003: 157), dan menamatkan pendidikannya pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dengan predikat terbaik (Yusuf Al-Qardhawi, 2003: 427).
Setelah itu ia belajar bahasa Arab selama dua tahun dan memperoleh ijazah internasional dan sertifikat mengajar. Tahun 1957 ia melanjutkan karirnya di Ma’had Al-Buhus Wa Al-Dirasat Al-Arabiyah Al-Aliyah (Lembaga Tinggi Riset dan Kajian Kearaban).
Pada tahun 1960 M ia menamatkan studi pada Pascasarjana di Universitas Al-Azhar dengan konsentrasi disiplin ilmu Tafsir Hadits. Selanjutnya Qardhawi berhasil menyelesaikan program Doktornya dengan disertasi Fiqh Al-Zakah pada tahun 1972 dengan predikat cumlaude.
Dalam pengembaraan ilmiahnya, Qardhawi banyak menelaah pendapat para ulama terdahulu seperti Al-Gazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Al-Bakhi Al-Khauli, Muhammad Abdullah Darraz serta Syaikh Mahmud Syaltut. Ia juga sangat menghayati pengajaran dan perjuangan gurunya (Hasan Al-Banna).
Pada masa kekuasaan raja Faruq tahun 1949, Qardhawi pernah dipenjarakan di penjara Thur karena terlibat dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin (Yusuf Al-Qardhawi, 2003: 327), pada bulan April 1956 M ia ditangkap dan yang terakhir pada bulan Oktober 1956 M ia dipenjarakan selama 2 tahun. Setelah itu pada tahun 1961 Qardhawi pergi ke Qatar dan mendirikan madrasah Ma’had Al-Diin yang kemudian berkembang menjadi fakultas Syari’ah dan Universitas Qatar.

B. Aktifitas dan Karier Yusuf Qardhawi
Sejak muda Yusuf Qardhawi sudah aktif berdakwah. Ia tidak pernah takut menyampaikan apa pun dari semua kebenaran. Keberaniannya berhasil mengirimnya ke penjara pada masa pemerintahan Raja Faruq (Yusuf Al-Qardhawi, 2003: 327). Kejadian dikirim ke penjara ini bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali dialaminya.
Selain tugas pokoknya sebagai pengajar dan da’i, ia aktif pula dalam berbagai kegiatan sosial untuk membantu umat Islam yang lain di berbagai belahan dunia.
Yusuf Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus memiliki keistimewaan dan keunikan. Ia memiliki cara atau metodologi khas dalam menyampaikan risalah Islam, karena metodologinya itulah dia mudah diterima di kalangan dunia Barat sebagai seorang pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitas tersebut yang membuat Yusuf Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan internasional dengan para pemuka agama di Eropa maupun di Amerika sebagai wakil dari kelompok Islam.
Dalam lentera pemikiran dan dakwah Islamiyah, kiprah Yusuf Qardhawi menempati posisi vital dalam pergerakan Islam kontemporer, waktu dihabiskannya untuk berkhidmat kepada Islam, berceramah dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, menyampaikan masalah-masalah aktual dan keislaman di berbagai tempat dan Negara (http://luluvikar.wordpress.com/2005/02/26/biografi-yusuf-al-qaradhawi/).
Selama aktifitas dan kariernya, Yusuf Qardhawi pernah memegang berbagai jabatan penting, yakni:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Studi Islam di Universitas Qatar.
2. Direktur Kajian Sunnah dan Sirah di Universitas Qatar.
3. Anggota Lembaga Tertinggi Dewan Fatwa dan Pengawasan Syariah di Persatuan Bank Islam Internasional.
4. Pakar Fikih Islam di Organisasi Konferensi Islam.
5. Anggota/Pendiri Yayasan Kebajikan Islam Internasional.
6. Anggota Majelis Pengembangan Dakwah Islamiyah di Afrika.
C. Karya dan Pemikiran Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi merupakan pemikiran yang progresif dan inovatif, ia tidak terjebak pada kejumudan dan mampu berkontribusi menjawab masalah-masalah kontemporer secara komprehensif. Ia menawarkan gagasannya tentang fikih (Cecep Taufikurrohman, Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312, tanggal 08 Maret 2008), diantaranya:
1. Fiqh Al-Muwazanah (Fikih Keseimbangan)
2. Fiqh Waqi’i (Fikih Realitas)
3. fiqh al-Aulawiyat (Fikih Prioritas)
4. Fiqh Al-Maqasid al-Syari’a (Maksud-Maksud Syara)
5. Fikih Zaka (Hukum Zakat)
Fiqh Al-Muwazanah (Fikih Keseimbangan) merupakan sebuah metode yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, pada saat terjadinya pertentangan dilematis antara maslahat dan mafsadat, atau antara kebaikan dan keburukan. Menurutnya, sebuah kemudaratan kecil boleh dilakukan untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar atau kerusakan temporer boleh dilakukan untuk mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan kerusakan besar pun dapat dipertahankan jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar (Cecep Taufikurrohman, Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312, tanggal 08 Maret 2008).
Fiqh Waqi’i (Fikih Realitas) merupakan sebuah metode yang digunakan untuk memahami realitas dan persoalan-persoalan yang muncul dizaman sekarang. Hal tersebut dimaksudkan agar hukum bisa diterapkan sesuai kontek tuntutan zaman (Cecep Taufikurrohman, Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312, tanggal 08 Maret 2008 ).
Fiqh al-Aulawiyat (Fikih Prioritas) Sebuah metode untuk menyusun sebuah sistem dalam menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya adalah bagaimana mendahulukan ushul daripada furu’, mendahulukan ikatan Islam dari ikatan lainnya, ilmu pengetahuan sebelum beramal, kualitas daripada kuantitas, agama daripada jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum berjihad (Cecep Taufikurrohman, Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312, tanggal 08 Maret 2008).
Fiqh al-Maqashid al-Syari’ah, Metode ini ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i yang juz’i dalam konteks maqashid al-syari’ah dan mengikatkan sebuah hukum dengan tujuan utama ditetapkannya hukum tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik dunia maupun akhirat (Cecep Taufikurrohman, Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312, tanggal 08 Maret 2008).
Fikih Zakat (Hukum Zakat). Dalam Fikih Zakat, Yusuf Qardhawi mencoba menghimpun hukum-hukum dan masalah-masalah yang terdapat di dalam zakat agar sesuai dengan kontek kekinian serta mengetengahkan kembali dalam bentuk dan cara yang berbeda dengan apa yang sudah ditulis dan pendekatan oleh ulama-ulama terdahulu. Hal itu dikarenakan tulisan dan pendekatan yang dipakai oleh ulama-ulama hanya cocok untuk zamannya masing-masing, sedangkan “lain padang lain belalang, lain masa lain bahasanya” (Yusuf Qardhawi, 2002: 5).
Dalam proses ijtihad (Yusuf Qardhawi, 2003: 15-16), Qardhawi melakukan pendekatan perbandingan. Dalam pengambilan perbandingan ini Yusuf Qardhawi mengambil dua bentuk, pertama yaitu perbandingan madzhab-madzhab yang ada di dalam Islam untuk menemukan pendapat yang lebih baik dan kuat.
Kedua yaitu, perbandingan antara agama Islam dengan agama yang lain, baik dari ruang lingkup agama, wacana pemikiran, tradisional maupun modern. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana keunggulan ajaran-ajaran agama Islam yang statusnya sudah dinafikan oleh aturan-aturan ciptaan manusia.
Dalam melakukan perbandingan terhadap madzhab-madzhab yang terdapat di dalam Islam, Qardhawi tidak membatasi terhadap empat madzhab, karena hal itu merupakan kesewenang-wenangan terhadap seluruh madzhab dan pendapat lain dalam Islam. Di dalam Islam terdapat madzhab-madzhab ahli fikih dan Shahabat serta Tabi’in Atba’ut Tabi’in yang tidak bisa diabaikan dan dikesampingkan begitu saja, baik dari segi agama maupun logika.
Apabila yang dikesampingkan itu para Shahabat yang kapasitas keilmuannya tidak disangsikan lagi maka yang dipakai adalah madzhab-madzhab Ibnu Nusaiyib, Umar bin Abdul ‘Aziz, Zuhri, Nakha’i. Hasan, ‘Atha, Sya’bi, Maimun bin Mahran dan pemuka-pemuka tabi’in lainnya.
Namun, apabila mengambil konsep-konsep dari orang-orang sesudah tabi’in maka yang diambil misalnya Tsauri, Auza’i, Abi Ubaid, Thabari, Daud Zhahiri dan lain-lain. Menurut Yusuf Qardhawi, pendapat-pendapat mereka itu merupakan data-data ilmiah yang begitu besar, apabila teori-teori mereka diabaikan maka hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan.
Disamping itu, Yusuf Qardhawi dalam mengambil sebuah teori tidak mengambil dari madzhab Suni saja, tetapi juga mengambil dari madzhab Zaidiah dan Ilmiah. Dalam hal ini Qardhawi berpendapat bahwa perbedaan itu adalah hal yang wajar dan merupakan hal yang tidak prinsipil (furu’) sehingga tidak perlu diperdebatkan.
Adapun dalam upaya memperbandingakan Fikih Islam ke luar (agama lain) seperti zakat dan lain-lain, maka harus membuat neraca perbandingan antara yang akan dibandingkan dari konsep-konsep Islam dengan konsep-konsep yang sekiranya relevalan dengan apa yang akan dibandingkan dari konsep-konsep Islam tadi sehingga melahirkan formulasi-formulasi yang solutif.
Menurut Yusuf Qardhawi, ada dua bidang baru untuk ijtihad, yakni yang pertama, bidang hubungan keuangan dan ekonomi. Hal ini berhubungan dengan kegiatan perbankan, pertukaran valuta, jaminan surat-surat berharga, deposito, dan lain sebagainya. Yang kedua, bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran (medis), seperti masalah pencangkokan organ tubuh, bolehkah organ tubuh itu diambil dari orang-orang non-Muslim untuk diberikan kepada orang-orang Muslim, bolehkah donor darah dari orang non-Muslim untuk diberikan kepada orang Muslim, mencangkok organ tubuh binatang untuk diberikan kepada manusia.
BAB IV
KONSEP PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM ISLAM MENURUT ANALISIS YUSUF QARDHAWI

A. Makna Pendayagunaan Zakat
1. Pengertian Pendayagunaan
Pendayagunaan secara bahasa berasal dari kata “daya” dan “guna” yang berarti mampu dan manfaat. Adapun pengertian pendayagunaan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
a. Kemampuan mendatangkan hasil dan manfaat.
b. Kemampuan menjalankan tugas (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 214).
Adapun istilah pendayagunaan terdapat makna yang lain, namun dalam interpretasinya memiliki arti yang sama persis, seperti istilah berdayaguna yang artinya kemampuan mendatangkan hasil, dan manfaat serta istilah mendayagunakan yang artinya mengusahakan. Dengan demikian, pendayagunaan adalah bagaiman cara atau usaha dalam mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar serta lebih baik.
Disamping itu, pendayagunaan pun memiliki arti yang lebih luas mencakup segala aspek di dalamnya, mulai dari bagaimana pendayagunaan ini diartikan sesuai dengan maksud dan tujuannya hingga hal-hal yang bersifat teknis. Maka atas dasar itulah mesti adanya paradigma baru dalam menginterpretasikannya.
Pendayagunaan, apabila dikaitkan dengan zakat maka hal ini memiliki arti bagaimana zakat tersebut tersalurkan terhadap hal-hal yang bersifat nyata/riil sehingga bisa mendatangkan sesuatu yang bermanfaat dari zakat itu sendiri sesuai peran dan fungsinya. Dengan demikian, fungsi dari zakat sebagai aturan Islam yang berdimensi sosial-ekonomi benar-benar dapat mengangkat harkat dan martabat umat, khususnya dari kemiskinan.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fikih Zakat menjelaskan bahwa terkait dengan dampak mengentaskan kemiskinan, hendaknya zakat didayagunakan bukan hanya sekedar bantuan makanan (materi) sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan penderitaan hidup orang-orang miskin dan selanjutnya tidak diperdulikan lagi bagaimana nasib mereka, tetapi zakat bertujuan menanggulangi kemiskinan, menginginkan agar orang-orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari penyebab kemiskinan tersebut dan mengusahakan agar orang-orang miskin itu mampu memperbaiki taraf kehidupannya (Yusuf Qardhawi, 2002: 89).
Intinya zakat bukan sekedar bantuan sesaat kepada fakir miskin untuk meringankan penderitaannya namun bertujuan membantu fakir miskin agar mampu berdaya memperbaiki kehidupannya. Zakat harus menjadi kekuatan untuk mendorong, memperbaiki dan meningkatkan kehidupan ke arah yang lebih baik bagi penerimanya. Tidak sedikit orang masih mempersepsikan bahwa penyaluran dana zakat kepada kelompok fakir miskin (mustahik) hanya untuk kegiatan charity (kemurahan hati) dan konsumtif semata.
Penyaluran zakat untuk pengembangan ekonomi yang memandirikan selama ini masih belum banyak disentuh. Konsep 4 M (Mengubah Mustahik Menjadi Muzzaki) yang menjadi landasan pendayagunaan zakat dikaitkan dengan model bantuan memberikan kail jangan ikannya, tentunya perwujudannya tidak semudah membalik tangan. Perlu upaya lebih dengan menggagas program-program berkelanjutan yang kreatif dan inovatif sehingga dampak zakat secara ekonomi bisa multiplier effect (efek ganda) dan benar-benar dirasakan secara langsung bagi mustahik.
Bagi lembaga nirlaba yang konsen terhadap pengembangan komunitas pendayagunaan zakat maka zakat dirumuskan dan diimplementasikan menjadi sebuah program pemberdayaan ekonomi yang mampu mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan umat. Penerima program dalam hal ini pelaku usaha mikro di berbagai sektor usaha yang hidup di perdesaan maupun perkotaan, melalui dana zakat yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan dengan pendampingan, mereka secara intensif diberi penyadaran untuk memperbaiki sikap mental, pengetahuan dan ketrampilannya kekehidupan yang lebih baik.
Daya guna zakat bagi sektor ekonomi mikro, disadari ataupun tidak zakat apabila dikelola dengan baik dapat memberikan dampak bagi upaya mengurangi kemiskinan. Memproduktifkan zakat bagi program pemberdayaan ekonomi tentunya perlu adanya sebuah keseriusan. Kesungguhan amat dibutuhkan untuk mengubah paradigma terhadap pendayagunaan zakat.


2. Tujuan Pendayagunaan Zakat dan Efeknya Bagi Muzaki
Aturan zakat dalam Islam bukanlah hanya untuk mengumpulkan harta dan bukan hanya sekedar untuk menolong orang yang lemah (fakir miskin), namun tujuannya yang paling utama adalah supaya manusia mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada hartanya.
Maka dari itu, kepentingan tujuan utama zakat bagi muzaki sama dengan kepentingan bagi mustahik itu sendiri. Hal ini pun merupakan antisipasi dari jurang pemisah antara orang mampu dengan orang fakir. Dan sesunguhnya bencana paling besar dalam ekonomi ialah jika masih adanya jurang pemisah antara orang mampu (the have) dengan orang fakir (the have not) ( Abdullah Zaky Al-Kaaf, 2002: 142).
Disamping itu, pendayagunaan zakat secara tepat dimaksudkan supaya meminimalisir konsentrasi harta terbatas dikalangan tertentu dapat dikikis sehingga penimbunan harta tidak terjadi. Orang-orang mampu diharapkan dapat mengeluarkan surplus kelebihan hartanya kepada orang yang tidak mampu.
Maka, disinilah perlu adanya pendayagunaan zakat yang baik dan tepat. Karena apabila pendayagunaan zakat yang tidak tepat maka tujuan, makna-makna dan lain-lain dari zakat itu sendiri tidak akan terealisir dengan baik dan tepat sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an telah menerangkan tujuan dari zakat dan segala yang terkait dengan masalah zakat termasuk pendayagunaannya tidak terlepas dari dua subjek pokok, yaitu muzaki dan mustahik. Maka dari sanalah lahir tujuan-tujuan dan makna-makna yang agung di dalam zakat itu sendiri, yaitu selain yang telah disebutkan di atas ialah membersihkan dan mensucikan. Hal ini dipertegas dengan firman Allah SWT dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 103:
         

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan” (Depag RI, 2000: 162).
Berdasarkan ayat di atas zakat meliputi segala bentuk pembersihan dan penyucian, baik material maupun spiritual bagi muzaki, mustahik dan hartanya. Dengan demikian, secara umum makna dari zakat dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagi muzaki dan mustahiknya. Adapun menurut Yusuf Qardhawi (Yusuf Qardhawi, 2002: 848), dampak dari zakat bagi muzaki adalah:
a. Zakat menyucikan jiwa dari sifat kikir
Zakat yang dikeluarkan semata-mata karena atas dasar tunduk dan patuh terhadap perintah Allah SWT dan mencari ridla-Nya. Dengan zakat, maka akan mensucikan dari segala dosa secara umum, terutama dari sifat kikir. Hal ini dimaksudkan karena sifat kikir selalu melekat dalam diri manusia, maka Allah menanamkan cara untuk mengikis dari sifat tersebut. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 100:
  

“Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, Karena takut membelanjakannya". Dan adalah manusia itu sangat kikir” (Depag RI, 2000: 233).
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa manusia mempunyai sifat kikir dan hal itu wajib dikikis agar manusia tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Kikir adalah penyakit yang sangat berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat secara umum. Salah satu dari kesucian jiwa manusia adalah terlepas dari sifat kikir, hedonis dan materialis.
Zakat sebagaimana merealisasi dari makna mensucikan jiwa manusia, zakat pun berfungsi membebaskan jiwa manusia dari ketergantungan dan ketundukan terhadap harta benda, karena manusia diperintahkan untuk hanya tunduk dan menyembah kepada Allah SWT semata.
Zakat dalam hubungan dengan ini berfungsi mensucikan, artinya mensucikan pemilik harta dari keburukan sifat kikir yang merusak segalanya. Hal ini dikarenakan bahwa Islam memerintahkan agar Mulim hanya menjadi hamba Allah SWT bukan hamba dari harta.
Di satu sisi sangatlah ironis apabila manusia menjadi hambanya harta, padahal sebagaimana diketahui bahwa manusia (Muslim) diturunkan di bumi untuk menjadi khalifah (pemimpin) atas segala sesuatu di muka bumi ini termasuk harta.
b. Zakat mendidik berinfak dan memberi
Sebagaimana halnya zakat mensucikan diri dari sifat kikir, ia pun mendidik manusia (Muslim) mempunyai rasa memberi, hal ini sangat jelas termaktub di dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an memutlakannya dengan sifat memberi, atas dasar itulah kenapa Allah SWT menyebutkan zakat tidak secara tegas menentukan apa yang diberikan, berapa yang diberikan dan jenis apa yang diberikan secara detail, ini maksud filosofisnya adalah sifat kedermawanan yang merupakan inti dari semuanya.
Dengan demikian, sifat kedermawanan ini diharapkan dapat mengkikis adanya penimbunan harta benda. Zakat merupakan musuh yang tidak kenal kompromi terhadap penimbunan harta dan ia merupakan lawan dari sistem kapitalisme.
c. Berakhlak dengan akhlak Allah SWT
Apabila manusia telah terhindar dari sifat kikir dan bathil maka hal tersebut akan tertanam jiwa yang mempunya rasa sosial yang tinggi, inilah kenapa manusia (Muslim) disebut emanasi nyata dari Allah SWT di bumi ini dan dalam ruang lingkup ini zakat mendidik manusia (Muslim) supaya mempergunakan hartanya untuk kemashlahatan umat.
Allah SWT mempunyai sifat Rahman dan Rahim, Maha Memberi, Maha Dermawan, maka atas dasar itulah manusia sebisa mungkin berusaha mempunyai sifat-sifat tersebut dalam cakupan yang sesuai dengan konteknya sebagai manusia.
d. Zakat merupakan manifestasi rasa syukur atas nikmat Allah SWT
Allah SWT dan Rasul-Nya telah memerintahkan kepada umat Muslim untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas segala apa yang telah diberikan. Syukur tentunya bukan hanya berucap, namun dalam kontek ini yaitu syukur atas harta bukanlah demikian.
Syukur dengan harta tentunya tidak akan terealisasi secara maksimal apabila dilaksanakan hanya sebatas ucapan saja akan tetapi bagaimana syukur dengan harta tersebut bisa dirasakan oleh orang lain yang sangat membutuhkan. Menurut Yusuf Qardhawi inilah yang disebut dengan ibadah harta (Yusuf Qardhawi, 2002: 857).
e. Zakat mengobati dari hubbu al-dunnya
Dari sisi lain zakat merupakan suatu peringatan terhadap hati akan kewajibannya kepada Allah SWT serta obat supaya hati tidak tenggelam terhadap kecintaan kepada harta. Menurut Ar-Razi (Yusuf Qardhawi, 2002: 858), kecintaan terhadap harta dapat memalingkan jiwa dari kecintaan terhadap Allah SWT.
Dengan adanya syariat mengeluarkan sebagian dari harta melalui konsep zakat dan diharapkan pemilik harta supaya mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan umat. Dengan demikian, pengeluaran tersebut dapat menahan rasa kecintaan terhadap harta yang berlebih-lebihan.
Imam Ar-Razi lebih lanjut menjelaskan terkait kecenderungan manusia yang dikuasai oleh harta/dunia:
“Sesungguhnya banyak harta menimbulkan kekuasaan dan kekuatan, yang akan berakibat pula bertambah kenikmatan dengan kekuasaan itu. Bertambahnya kenikmatan kenikmatan, mengakibatkan manusia berusaha untuk mendapatkan harta agar kenikmatan itu semakin bertambah. Dengan cara ini akan terjadilah suatu lingkaran, yaitu: jika manusia sungguh-sungguh berusaha mendapatkan harta, ia akan mendapatkan kekuasaan. Dengan kekuasaan ia akan mendapatkan kelezatan. Dan dengan ini akan mendorong manusia terus mencari harta. Dan ketika masalah ini akan berkembang menjadi suatu lingkaran yang tidak pernah putus, maka syariat memberikan keputusan dan menetapkan ujungnya, yaitu ia mewajibkan pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian harta itu sebagai infak dalam rangka mencari ridha Allah s.w.t sehingga terhalanglah nafsu ini dari lingkaran syaitan yang tidak ada ujungnya itu, kemudian kembali kepada ibadah kepada Allah dan mencari ridhaNya” (Yusuf Qardhawi, 2002: 858-859).

Dari uraian di atas dapat difahami bahwa harta sesungguhnya adalah alat, bukan merupakan tujuan dari sesuatu. Apabila harta sudah menjadi sebuah tujuan hidup maka hal itu otomatis akan memperbudak pemiliknya, maka hal inilah yang menjadi penghalang bagi seseorang untuk lebih dekat dengan Allah SWT.
Allah SWT tidaklah melarang hambanya untuk mengumpulkan harta, namun hal ini harus jadi catatan untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengupayakan dan tidak berlebih-lebihan dalam memiliki harta tersebut, atas dasar inilah zakat menjadi salah satu antisipasinya.
f. Zakat mengembangkan kekayaan batin
Menurut Yusuf Qardhawi, di antra tujuan penyucian jiwa yang dibuktikan oleh zakat adalah tumbuhnya dan berkembangnya kekayaan batin dan perasaan optimisme. Inilah makna pengembangan jiwa dan pensucian maknawi dan ini pula yang difahami dari firman Allah SWT: ”Engkau sucikan mereka dan engkau bersihkan jiwa mereka dengan zakat” (Yusuf Qardhawi, 2002: 860).
g. Zakat menarik rasa simpati
Secara naluriah manusia saling membutuhkan dikarenakan sifat manusia itu sendiri adalah sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini individu yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Apabila hal itu disertai dengan nilai-nilai keillahian maka masyarakat yang adil dan makmur pun akan tercipta dengan sendirinya.
Begitu pula dengan zakat, zakat menghubungkan antara orang mampu dan orang fakir serta dengan masyarakat secara luas, hal ini akan meningkatkan rasa solidaritas tinggi dan saling tolong-menolong.
h. Zakat mensucikan harta
Disamping zakat mensucikan jiwa seseorang, zakat pun akan mensucikan harta. Yusuf Qardhawi menyebutkan karena hak orang lain dan harta tersebut saling berhubungan maka harta tersebut bercampur/kotor (rusak) yang tidak bisa suci kecuali dikeluarkan.
Senada dengan hal ini, Rasul SAW bersabda:
مَا خَا لَطَثِ الصَّدقَةُ مَا لاً قَطُّ اِ ِ لاَّ اَهْلَكَتْهُ

“Tidaklah bercampur sedekah/zakat terhadap harta, kecuali sedekah tersebut akan merusak harta” (Yusuf Qardhawi, 2002: 862).
Dengan demikian, harta apabila tidak dikeluarkan zakatnya maka disamping ingkar kepada Allah SWT juga akan berakibat rusaknya harta tersebut.
i. Zakat mengembangkan harta
Sebagaimana yang telah di uraikan di atas, zakat berfungsi untuk mensucikan harta, selain itu juga dengan zakat maka harta akan berkembang. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Saba’ ayat 39:
 •                    
“Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (Depag RI, 2000: 345).
Jelaslah berdasarkan ayat di atas Allah SWT akan menyempitkan harta apabila harta tersebut tidak dipergunakan di jalan Allah (melalui zakat). Namun sebaliknya, apabila harta yang dimiliki tidak dipergunakan di jalan Allah SWT atau tidak diberikan kepada orang fakir, maka secara otomatis Allah akan menyempitkan harta tersebut.
3. Sasaran Pendayagunaan Zakat dan Dampaknya Bagi Mustahik
Menurut Yusuf Qardhawi (Yusuf Qardhawi, 2002: 867) sasaran pendayagunaan zakat dan dampaknya bagi mustahik adalah:
a. Pemenuhan materi (harta) melalui zakat
Apabila zakat dilihat dari sudut pandang objeknya, maka zakat dapat membebaskan manusia dari ketergantungan akan pemenuhan materi dan sesuatu yang menghinakan martabat manusia dan merupakan kegiatan yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan serta melepaskan. Inilah yang dimaksud Yusuf Qardhawi bahwa zakat dalah rukun Islam yang bercorak sosial-ekonomi (Yusuf Qardhawi, 2002: 3).
Agama Islam menjadikan materi/harta sebagai salah satu jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Berkaitan dengan hal ini Rasul SAW bersabda:
ثَلثلاَ ثَ مِنَ السَّعَا دَةِ اَلْمَرْ أَ ةُ تَرَاهَا فَتُعْخِبُكَ وَتَغِيْبُ عَنْهَا فَتتأْ مَنُهَا عَلَى نَفْسِهَا وَمَا لِكَ وَالدَّابَّةُ تَكُوْنُ وَطِئِتَا فَتَلْحَقُكَ بِأ صْحَابِكَ والدَّارُ تَكُوْنَ وَاسِعَةً كَثِيْرَةَ الْمَرَافِقِ

“Tiga tanda kebahagiaan manusia: pertama, istri yang apabila engkau lihat menggembirakan, bila engakau jauh dari padany terpelihara diri dan hartanya. Kedua, kendaraan yang bagus yang dapat mengantarkan sahabat-sahabatmu. Ketiga, rumah yang luas yang banyak penghuninnya” (Yusuf Qardhawi, 2002: 867).

Sebagaimana yang telah disebutkan di sebelumnya bahwa Islam membolehkan dan menganjurkan manusia bahagia melalui hartanya. Islam tidak menghendaki dan bahkan melarang manusia hidup berada dalam kesangsaraan, karena kesengsaraan dapat mendatangkan kekufuran.
Hal ini yang membedakan Islam dengan agama lain, jika konsep harta di luar Islam (Barat) hanya terhenti sebatas pemenuhan kebutuhan jasmani saja tapi Islam jauh melebihi itu, Islam menganjurkan umatnya untuk selalu mencari harta namun disamping harta tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, harta pun harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan rohani.
Kebutuhan rohani disini mempunyai arti bagaimana harta tersebut bisa menghantarkan manusia bertemu dengan Tuhannya yaitu Allah SWT. Oleh sebab itu, regulasi yang dikeluarkan agama Islam terhadap harta tersebut mesti ada mekanisme yang mengatur itu semua, mekanismenya adalah dengan zakat.
Konsep sosial-ekonomi yang terdapat di dalam zakat melahirkan kebersamaan antara orang mampu dengan orang fakir. Orang-orang fakir yang menjadi salah satu sasaran zakat akan selalu terpenuhi segala kebutuhannya sehingga orang fakir dapat menjalankan hidup dan kehidupannya menuju titik kesempurnaan, yaitu dapat beribadah kepada Allah SWT dengan tenang tanpa terlalu terbebani akan pemenuhan materinya.
Disinilah maksud dari realitas agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Ironis apabila agama Islam yang dibawa oleh Rasul SAW merupakan agama rahmatan lil ‘alamin namun pemeluknya tidak sejahtera dan tidak terjamin. Oleh karena itu, untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah, perlu adanya instrumen yang menunjang itu semua. Salah satu dari sekian banyak instrumennya adalah sinergitas antara kaum aghnia dengan kaum fakir.
Dari sini pulalah Allah SWT mewajibkan zakat dan menjadikannya sebagai tiang agama, di mana zakat diambil dari orang mampu dan diberikan kepada orang fakir sehingga akibat dari semua itu orang-orang fakir dapat memenuhi kebutuhan materinya seperti makan, minum, pakaian, pekerjaan dan lain-lain. Dengan demikian, orang-orang fakir dapat berperan aktif dalam kehidupannya dan dapat melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah SWT. Dengan zakat ini pula orang-orang fakir tidak tersia-siakan dan tidak terhinakan.
Allah SWT sangat melarang menyia-nyiakan dan menghina orang-orang fakir, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 264:
            ••               
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-menyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah)” (Depag RI, 2000: 35).

Berdasarkan ayat di atas bila diartikan secara luas dan lebih dalam maka dapat difahami bahwa memuliakan dan tidak meninggalkan orang fakir merupakan salah satu tugas manusia di muka bumi ini disamping beribadah kepada Allah SWT. Inilah hakikat makna dari zakat, dengan pendayagunaan zakat secara tepat sasaran maka pemenuhan akan kebutuhan materi fakir miskin dapat terjamin secara utuh.
b. Zakat menghilangkan sifat iri dan benci
Apabila manusia terjerat dengan kefakiran sedangkan orang-orang di sekelilingnya hidup berada dalam garis kekayaan maka secara otomatis hal tersebut berpotensi menimbulkan rasa iri dan benci kepada orang-orang yang membiarkan dan mengacuhkanya.
Islam telah memerintahkan agar hubungan antar sesama didasari atas dasar persaudaraan, hal ini sebagaimana Hadits Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah:
كُوْ نُوْا عِبَا دَاللَّهِ اِخْوَانًا
“Jadilah kamu sekalian hamba Allah yang bersaudara” (Yusuf Qardhawi, 2002: 873).
Berdasarkan Hadits di atas kiranya dapat difahami bahwa umat Islam pada hakikatnya adalah bersaudara, dan rasa persaudaraan itu tidak akan terwujud apabila satu sama lain tidak saling membantu dan tidak saling memperdulikan terhadap nasib buruk yang menimpa seseorang. Maka tidaklah heran apabila rasa persaudaraan ini tidak dibangun maka akibat dari semua itu akan melahirkan sifat iri dan benci.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas disebutkan bahwa:
لاَيُؤمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبُّ لاَِ خِيْهِ مَيُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Seseorang tidak akan sempurna imannya, manakala ia belum mencintai saudaranya, seperti mencintai dirinya sendiri” (Yusuf Qardhawi, 2002: 876).

B. Pandangan Yusuf Qardhawi Tentang Konsep Pendayagunaan Zakat
Sisi sosial dari zakat jelas tidak bisa diragukan lagi, sebagaimana Allah SWT berfirman di dalam Qur’an surat At-Taubah ayat 60:
                       
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Depag RI, 2000: 156).
Berdasaran ayat di atas terdapat sasaran yang mempunyai identitas yang jelas siapa saja orang-orang yang berhak meneima zakat dan dalam hal tersebut harus ada keterlibatan institusi (amil) zakat yang bertugas menanganinya sehingga pemungutan dan distribusi dari pendayagunaan zakat tertata rapi dan tepat sasaran.

1. Zakat dan Kesejahteraan Sosial
Menurut Yusuf Qardhawi, pada dasarnya zakat ialah upaya yang dapat memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat termasuk usaha-usaha yang mengarah ke sana, maka dapat menjadi bagian dari pendayagunaan zakat dilihat dari sisi Maqashid Al-Syariah. Namun demikian, pendayagunaan zakat selama ini hanya untuk program-program keumatan yang bersifat abstrak dan berjangka pendek, boleh jadi di samping karena keterbatasan dana juga perbedaan dalam penilaian terhadap prioritas dari pengembangan program keumatan serta paradigma dari pendayagunaan itu sendiri.
Tetapi secara konsepsional, bahwa konsep zakat dan pendayagunaannya bertujuan untuk meningkatkan produktifitas serta harkat dan martabat manusia sehingga tercapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Untuk itu segala program yang bertujuan meningkatkan produktifitas serta harkat dan martabat manusia seperti bantuan hukum, bantuan ekonomi, bantuan pendidikan, advokasi, beasiswa (membiayai orang yang sedang mencari ilmu), pemahaman hak-hak dan kewajiban antara individu yang satu dengan yang lainnya harus diprioritaskan.
Pada sasaran ini zakat dan pendayagunaanya bercorak identitas sosial, seperti menolong orang yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang lemah. Menolong orang-orang tersebut tentunya mempunyai dampak sosial yang tinggi dan merupakan sebuah jaminan terhadap sosial.
Lebih lanjut Yusuf Qrdhawi mengemukakan (Yusuf Qardhawi, 2002: 878) bahwa jaminan sosial ini merupakan aturan yang tidak dikenal dimana pun termasuk di Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang sempit seperti jaminan pekerjaan.
Islam memperkenalkan aturan ini sejak 14 abad yang silam dalam ruang lingkup yang luas dan lebih dalam mencakup segi kehidupan material dan spiritual seperti akhlak, pendidikan, jaminan politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan ekonomi, jaminan kemanusiaan, jaminan kebudayaan dan jaminan sosial.
Hal ini yang sesungguhnya menutup segala kebutuhan bagi mustahik, yaitu kebutuhan akan sebuah pertolongan. Pertolongan, di mana tujuan akhirnya adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang, baik makanan, minuman, pekerjaan, pakaian, perumahan maupun kebutuhan lainnya yang bersifat jangka panjang ataupun yang bersifat insidental.
Oleh karena itu jaminan sosial merupakan aturan yang lebih mencakup dan lebih luas dari zakat karena ia mencakup berbagai segi kehidupan dan perhubungan kemanusiaan secara keseluruhan, sedangkan zakat merupakan satu bagian dari berbagai macam bagian ini. Ia mencakup apa yang sekarang disebut dengan asuransi sosial dan tanggung jawab sosial. Beda antara keduanya adalah, jika asuransi setiap orang mempunyai bagian sesuai dengan modalnya dalam pandangan pengurusnya. Sedangkan dalam tanggung jawab sosial penguasalah yang menentukan ukuran yang bersifat umum tanpa mengikutsertakan masyarakat dalam bagian yang telah ditentukan.
Banyak orang yang pada suatu tahun mengeluarkan zakat namun pada tahun berikutnya tidak lagi mengeluarkan zakat atau malah menjadi mustahik yang disebabkan oleh hal-hal lain, maka dari segi ini zakat dipandang sebagai asuransi sosial.
Namun apabila terdapat seseorang yang sebelumnya tidak wajib zakat dan tidak pula mengusahakannya untuk menjadi wajib zakat akan tetapi ia berhak menerima zakat karena kefakiran dan kebutuhannya maka dari segi ini zakat dipandang sebagai jaminan sosial (Yusuf Qardhawi, 2002 : 878-879).
Oleh karena itu, zakat selayaknya disalurkan terhadap sektor-sektor riil, dimana sektor-sektor riil ini mendidik mustahik untuk memperbaiki taraf hidupnya secara mandiri tanpa menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
Adapun sektor-sektor riil ini bisa berbentuk seperti:
a. Pedagang
Dana yang terkumpul dari zakat disalurkan kepada program-program untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin melalui memberikan pengetahuan tentang sistem manajemen, bimbingan sehingga para pelaku usaha tersebut dapat mengelola usahanya dengan baik dan mandiri.
Namun menurut Yusuf Qardhawi bantuan-bantuan yang diberikan berbeda-beda disesuaikan dengan tempat, waktu, jenis usaha dan sifat-sifat perorangan. Misalnya, penjual roti, tukang kayu, tukang cukur atau tukang jagal (tukang daging) diberi modal untuk membeli alat-alat kebutuhan yang berkaitan dengan usahanya (Yusuf Qardhawi, 2002 : 530).
b. Pendidikan dan beasiswa
Apabila terdapat orang yang sedang mencari ilmu, maka boleh mendapatkan dana zakat untuk memenuhi kebutuhan membeli buku-buku atau untuk kebutuhan agama dan dunianya (Yusuf Qardhawi, 2002 : 525).
Beberapa ulama dan cendikiawan Muslim menyarankan pendayagunaan dana zakat dipakai sebagai dana abadi biaya beasiswa pendidikan (Eko Supriyanto, 2005: 45). Hal tersebut perlu dilakukan, karena apabila melihat kondisi lembaga pendidikan sekarang, khususnya swasta, kondisinya kurang maksimal. Hal ini disebabkan kurangnya biaya untuk membina disamping berbagai kekurangan-kekurangan lainnya.
Dalam hal ini, program-program yang dapat ditempuh adalah memberikan bantuan kepada pihak-pihak terkait baik itu organisasi maupun yayasan yang bergerak dibidang pendidikan tersebut. Bantuan ini bisa berupa uang yang pengelolaanya diserahkan langsung kepada pihak terkait atau berupa bantuan sarana pendidikan. Bantuan tersebut bisa diberikan secara insidental maupun secara rutin untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut.
Di samping itu juga, dana zakat bisa diberikan langsung kepada anak-anak tertentu atau sifatnya tetap dalam bentuk beasiswa kepada beberapa anak, sehinga anak tersebut bisa melanjutkan pendidikannya.
c. Mengatasi ketenagakerjaan atau pengangguran
Kegiatan lain yang digunakan dari dana zakat adalah mengatasi masalah-masalah pengangguran secara umum dan ketenagakerjaan secara khusus.
Objek dari upaya ini adalah para fuqara, yaitu orang-orang yang mempunyai usaha atau pekerjaan tetap untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari namun usaha tersebut belum cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping para fuqara yang mempunyai usaha juga kepada fuqara yang belum mempunyai usaha sama sekali. Dalam memberikan permodalannya dapat diberikan kepada perorangan atau kepada kelompok sehingga kelompok itulah yang akan mengelola modal berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh.
d. Program pelayanan kesehatan
Program lainnya yang dapat ditanggulangi melalui program pendayagunaan zakat adalah masalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Zakat sebagai konsep sosial, tentunya ikut memikirkan hal-hal tersebut, artinya bahwa zakat dapat dimanfaatkan untuk mensejahterakan umat Islam dalam bentuk pelayanan kesehatan. Pendayagunaan zakat dalam pengertian ini bisa diartikulasikan dari konsep fisabilillah. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah berupa mendirikan poliklinik dan lain-lain.

2. Sistem Pemungutan dan Distribusi Zakat
Zakat dan pendayagunaanya tidak terlepas dari peran serta tugas dari badan amil zakat mulai dari pemungutan sampai pendistribusian zakat. Tugas badan amil zakat ini meliputi semua yang berhubungan dengan pengaturan soal zakat, yaitu mencakup soal sensus terhadap orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat dan macam-macam zakat yang diwajibkan, besaran harta yang wajib dizakati, mengetahui sasaran zakat (mustaik) serta jumlah mustahik zakat dan berapa kebutuhan mustahik serta besaran biaya yang dapat mencukupi kehidupannya dan ha-hal lain yang merupakan urusan yang perlu ditangani secara sempurna oleh para ahli, petugas dan para pembantunya/pengurus badan amil zakat.
Dengan demikian menurut Yusuf Qardhawi menerangkan (Yusuf Qardhawi, 2002: 546) bahwa apabila zakat dikaitkan kontek sekarang perlu adanya dua klasifikasi urusan tugas pokok, tiap urusan mempunyai seksi dan bagian, yaitu:
a. Pertama yaitu urusan penghasil (pengumpul) zakat.
b. Kedua yaitu mengenai urusan pembagi (distribusi) zakat .
Para tugas penghasil (pengumpul) zakat melaksanakan pekerjaan mengumpulkan zakat. Tugas mereka menyerupai seperti tugas para penagih pajak pada zaman sekarang. Tugas-tugasnya adalah melakukan sensus atau pencatatan terhadap orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzaki), kemudian menagih zakatnya, setelah itu harta zakat (dana zakat) yang telah diambil dari mustahik tadi disimpan dan dijaga dan setelah itu kemudian harta tersebut diserahkan kepada bagian pengurus pembagi zakat (pendistribusian).
Adapun urusan pembagi zakat (pendistribusian) tugasnya seperti apa yang dilakukan oleh Departemen Sosial. Urusan ini diharapkan cerdas dalam mengecek dan memilih siapa saja yang akan jadi sasaran zakat (mustahik), kemudian melaksanakan klasifikasi terhadap mustahik sehingga kebenaran seseorang yang dianggap mustahik benar-benar sesuai dengan data yang telah diperoleh.
Disamping itu, tugas dari bagian ini melakukan penghitungan terhadap jumlah kebutuhan para mustahik dan biaya yang cukup untuk mereka sehingga dalam pembagian dana zakat ini sesuai dengan jumlah dan kondisi sosialnya (mustahik).
Imam Nawawi berkata:
“Hendaklah imam dan pelaksana serta orang yang diserahi tugas membagi zakat, melakukan pencatatan para mustahik serta mengetahui jumlah mereka dan besarnya kebutuhan mereka, sehingga seluruh zakat itu diselesaikan setelah diketahui jumlah zakat itu, agar segera diselesaikan hak mereka dan untuk menjaga terjadinya kerusakan barang yang ada padanya”.

Untuk kelancaran proses pendistribusian ini maka perlu adanya cabang badan urusan pembagian zakat di setiap daerah. Urusan ini dibagi kepada beberapa bagian, yaitu:
a. Bagian urusan terhadap orang-orang fakir, orang-orang yang udzur dan orang-orang tidak mampu bekerja. Bagian ini mengakomodir terhadap orang tua, para janda, yatim piatu, para penderita yang ditimpa bencana dan orang-orang lemah seperti orang sakit, orang buta, orang lumpuh, orang cacat, orang yang lemah akalnya dan lain-lain dengan syarat orang-orang yang disebutkan tadi terbukti tidak mempunyai kekayaan, baik harta warisan maupun harta lainnya.
b. Bagian urusan terhadap orang-orang yang berpenghasilan rendah. Apabila di wilayah bagian ini terdapat mustahik dapat mencari nafkah, namun usahanya tidak mencukupi karena penghasilannya rendah sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya maka tugasnya adalah bagian urusan ini.
c. Bagian urusan pertolongan terhadap orang-orang yang sedang mengungsi, seperti orang-orang yang diusir, korban politik yang melarikan diri dari Negara yang dzalim/kafir. Demikian juga pertolongan terhadap pelajar/mahasiswa yang dikirim ke luar negeri dalam rangka untuk kepentingan Islam.
d. Bagian urusan terhadap orang-orang yang berutang. Bagian ini cakupan tugasnya terhadap orang-orang yang berutang, namun utang tersebut bukan untuk hal-hal yang diharamkan akan tetapi utang tersebut hanya digunakan untuk kepentingan umum.
e. Bagian urusan organisasi (lembaga) penyiaran agama Islam di negeri non-Muslim berupa dakwah menyampaikan risalah Islam ke pelosok negeri di dunia.
Bagian ini juga melakukan pembatasan harta zakat yang diberikan kepada masing-masing bagian dari anggaran zakat yang berada di bawah ijtihad pemerintah serta keputusan para ahli musyawarah sesuai dengan studi pelaksanaan sensus yang merata.
Di samping itu, menurut Yusuf Qardhawi amil zakat harus mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Hendaklah amil zakat adalah seorang Muslim.
2. Seorang mukallaf.
3. Memahami hukum-hukum zakat.
4. Mampu melaksanakan tugas-tugasnya.
5. Amil zakat disyaratkan laki-laki.
6. Orang yang merdeka (Yusuf Qardhawi, 2002: 546-555).

3. Skala Prioritas Sasaran Zakat
Sebagaimana Allah SWT telah menyebutkan dalam Qur’an Surat At-Taubah ayat 60 bahwa sasaran zakat itu ada delapan asnaf. Namun dalam penjelasan prioritas asnaf ini Yusuf Qardhawi menyimpulkan dari pendapat-pendapat ulama (Yusuf Qardhawi, 2002: 664).
Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu’:
“Imam Asy-Syafi’i dan ashbabnya telah berpendapat, bahwa apabila yang membagikan zakat itu pemiliknya langsung atau wakilnya, maka hilanglah bagian untuk petugas; dan ia wajib membagikan zakat itu pada tujuh golongan yang lain, apabila semua ada; dan apabila tidak, maka wajib diberikan pada semua yang ada saja. Tidak diperbolehkan membiarkan salah satu golongan yang ada; sehingga apabila ia melakukan, ia harus bertanggungjawab terhadap bagiannya itu”

Disamping itu, terdapat pula pendapat yang sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa zakat harus dikeluarkan secara sama rata diantara semua golongan (asnaf) dan hendaknya setiap golongan tersebut terdapat tiga orang atau lebih, karena bilangan tiga itu termasuk jumlah jamak kecuali petugas karena apa yang diambil merupakan upahnya
Namun Imam Malik dan Abu Hanifah serta golongannya berbeda pendapat dengan pendapat Imam Syafi’i, mereka tidak mewajibkan pembagian zakat terhadap semua golongan (asnaf). Mereka berpendapat bahwa lam (li) pada kalimat   bukan lam tamlik akan tetapi lam al-ajli (lam menunjukan karena sesuatu).
Abu Ubaid telah menerima riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Apabila engkau memberikan zakat pada satu sasaran dari sasaran zakat, maka hal itu cukup bagimu, dan sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin, dan seterusnya”.
Maksudnya, sedekah itu jangan diberikan kepada selain sasaran zakat (selain asnaf yang delapan).
Ibrahim An-Nakha’i berpendapat bahwa apabila harta zakat itu banyak, maka bagikanlah kepada asnaf yang delapan. Namun apabila sedikit maka cukup kepada satu sasaran saja.
Pengarang Raudhah An-Nadiah mengatakan bahwa Allah SWT menegaskan sasaran zakat itu hanya untuk delapan asnaf, tidak diperbolehkan kepada selain yang delapan. Penentuan ini tidak berarti zakat itu mesti dibagikan secara adil kepada setiap penghasilan zakat, baik itu yang sedikit maupun yang banyak. Akan tetapi, maksudnya bahwa zakat itu hanyalah untuk jenis sasaran zakat tersebut.
Rasyid Ridha mengemukakan dalam Tafsir Al-Manar:
“Bahwa adanya perbedaan pendapat antara ulama salaf dengan ulama sekarang di beberapa Negara dalam masalah ini, menunjukan bahwa tidak adanya sunah amaliah dizaman Rasul SAW dalam hal ini yang disepakati, dan tidak pula dizaman Khulafaur Rasyidin”
Dengan demikian, skala prioritas sasaran zakat adalah:
a. Zakat harus dibagikan kepada semua mustahik. Apabila zakat tersebut banyak dan semua sasaran zakat itu ada dan kebutuhan mereka itu sama atau hampir sama maka semuanya harus dapat bagian. Dan ini hanya berlaku bagi Imam atau Hakim Agama yang menyimpulkan zakat dan membagikannya pada mustahik.
b. Apabila semua mustahik yang delapan itu ada, maka tidak wajib menyamakan terhadap kadar atas kebutuhannya, itu semua disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing.
c. Diperbolehkan memberikan semua zakat tertuju kepada salah satu dari asnaf untuk mewujudkan kemashlahatan yang sesuai dengan syara.
d. Hendaknya golongan fakir dan miskin dijadikan prioritas pertama. Hal ini dikarenakan zakat memberikan kecukupan kepada mereka. Disamping itu juga hal ini merupakan tujuan dari zakat.
e. Hendaknya mengambil pendapat Imam Syafi’i dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan kepada petugas menerima dan membagikan zakat tersebut, yaitu 1/8 dari hasil zakat dan tidak boleh lebih dari 1/8.
f. Apabila harta zakat sedikit maka cukup diberikan kepada satu mustahik saja. Hal ini dikarenakan harta yang sedikit sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat itu sendiri (Yusuf Qardhawi, 2002: 664-672).
Adapun secara teknis, pendistribusian zakat bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Pertama, muzaki langsung menyerahkan zakatnya kepada mustahik, baik diberikan kepada salah satu asnaf, atau pada keseluruhannya dibagi secara merata atau dilakukan dengan cara skala prioritas asnaf mana sebagai mustahiknya yang dipandang akan bisa memenuhi harapan tujuan syari’at zakat itu. Namun, pola pembagian seperti ini lebih bersifat individual dan kurang efektif jika diterapkan dalam wilayah yang lebih luas dan asnafnya banyak, hal ini akan memunculkan persoalan baru yang tidak dikehendaki, seperti korban jiwa yang sering terjadi ketika pembangian zakat karena berdesa-desakankan, sehingga nilai kebaikan yang diterima dengan resiko yang menimpa tidak seimbang. Bila cara seperti ini tetap dibiarkan, dikhawatirkan akan berimplikasi pada tujuan beribadat tidak tercapai.
b. Kedua, pola kolektif melalui pembentukan kelembagaan dalam sebuah organisasi yang disusun rapih dan bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Bila pola pengelolaan melalui pelembagaan, maka prinsif-prinsif manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, pembagian kerja/ job/actuating dan sistem kontrol (POAC) adalah perlu diterapkan dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang telah di paparkan di atas.
Berdasarkan uraian di atas, posisi amil sebagai salah satu mustahik yang ditentukan Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 60 bukanlah tanpa maksud. Penyebutan posisi ini dalam Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa Allah SWT menginginkan adanya pengelolaan dana zakat yang profesional oleh institusi atau kelompok orang tertentu yang disebut badan amil. Mereka inilah yang melakukan upaya fundraising sekaligus mengelola dan mendistribusikannya untuk kepentingan tujuan zakat.
Untuk kerja inilah badan amil berhak mendapat sebagian dana zakat, dan karena itu nama amil disebut dalam Al-Qur’an. Konsekuensinya, lembaga atau orang yang mengatasnamakan badan amil namun tidak mengeluarkan daya upaya untuk mengumpulkan, mengelola dan mendistribusikannya secara profesional, maka amil seperti ini tidak layak mendapatkan porsi dana zakat, bahkan Amil semacam ini justru menggerogoti spirit keadilan sosial dan ekonomi dalam zakat.
Berkaitan dengan penguatan posisi amil ini, peningkatan profesionalisme lembaga-lembaga zakat adalah faktor kunci. Profesionalisme ini meliputi upaya proaktif dalam fundraising dengan dua tujuan meningkatkan pendapatan dana zakat dan meningkatkan jumlah orang sadar zakat. Termasuk profesionalisme lembaga zakat adalah mengoptimalkan pengelolaan dana zakat untuk pemberdayaan ekonomi dan peningkatan terhadap sektor riil.
Karena itu, lembaga zakat perlu memiliki pemetaan sosial ekonomi yang baik, sehingga dana zakat tepat sasaran. Selain itu, model penyaluran dana zakat yang produktif harus lebih menjadi orientasi lembaga-lembaga zakat daripada pola-pola distrubusi dana yang bersifat konsumtif.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, zakat akan lebih bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan produktivitas masyarakat secara luas. Sudah saatnya pengelolaan dana zakat mengikuti misi profetik yang diemban Nabi, yaitu misi keadilan distribusi ekonomi dan meminimalkan konsentrasi harta hanya pada kelompok elit tertentu.
Dengan demikian, skala prioritas sasaran zakat lebih bersifat kondisional dan kontekstual. Artinya, dengan berbagai pertimbangan dana zakat yang diberikan harus lebih mengutamakan terhadap orang-orang yang lebih membutuhkan.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pada pemaparan pembahasan sebelumnya, maka makna pendayagunaan zakat menurut Yusuf Qardhawi adalah:
1. Zakat dapat mensucian jiwa dari sifat kikir.
2. Zakat dapat mengembangkan sifat memberi.
3. Berakhlak dengan akhlak Allah SWT.
4. Zakat merupakan manifestasi rasa syukur atas nikmat Allah SWT.
5. Zakat dapat mengembangkan kekayaan batin.
6. Zakat dapat mengobati hati dari hubbu al-dunnya.
7. Zakat dapat menumbuhkan rasa simpati dan cinta kepada sesama manusia.
8. Zakat mensucikan harta.
9. Zakat mengembangkan harta.
10. Terpenuhinya kebutuhan materi.
11. Zakat dapat menghilangkan sifat iri dan benci.
Adapun pandangan Yusuf Qardhawi tentang pendandayagunaan zakat adalah:
1. Zakat dapat melahirkan hubungan yang baik antara orang mampu dengan orang fakir secara khusus maupun masyarakat secara luas.
2. Zakat merupakan suatu bagian dari sistem jaminan sosial dan asuransi sosial dalam Islam.
3. Sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi.
4. Sebagai sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia.
5. Meningkatkan etika bisnis yang benar, sehingga orang fakir dapat berikhtiar dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri tanpa menggantungkan hidupnya terhadap orang lain.

B. SARAN
Mengingat zakat sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan umat, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
1. Meningkatkan kinerja dan profesionalisme badan amil zakat.
2. Lebih memperhatikan skala prioritas sasaran zakat.
3. Melakukan penyuluhan dan kesadaran mengeluarkan zakat kepada masyarakat, khususnya muzaki.
4. Menyalurkan zakat/dana zakat terhadap sektor-sektor riil.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardhawi, Yusuf. 2003. Perjalanan Hidupku. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta Timur.
Al-Zuhayly, Wahbah. 2000. Zakat (Kajian Berbagai Mazhab). PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Depag, RI. 2000. Al-Qur’an dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro. Bandung.
Departemen pendidikan dan kebudayaan. 2002. Kamus besar bahasa indonesia. Balai pustaka. Jakarta.
Ismail Sahhatih, Syauqi. 2007. Penerapan Zakat dalam Bisnis Modern. CV Pustaka Setia. Bandung.
Mahfudh, Sahal, 2007. Islam Madzhab Tengah. Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta Selatana.
Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Qardhawi, Yusuf. 2002. Hukum Zakat. Litera Antara Nusa. Jakarta.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (Hukum Fiqih Lengkap). PT Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Strahmn, Rudolf H. 1999. Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Supriyanto, Eko. 2005. Ekonomi Islam. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Taufikurrohman, Cecep. Syaikh Qardhawi: Guru Umat Pada Zamannya, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=312. Tanggal 08 Maret 2008.
Yusuf, Muhammad dan Junaedi. 2006. Pengantar Ilmu Ekonomi dan Perbankan Syariah. Ganeca Press. Jakarta.
Zaky Al-Kaaf, Abdullah. 2002. Ekonomi dalam Perspektif Islam. Pustaka Setia. Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[MOD] Samsung Galaxy Grand Duos 4.2.2 (GT-I9082) With Touchwiz Lollipop Style

Assalaamu'alai kuum Sorry for bad english JANGAN LUPA SUBSCRIBE CHANNELS SAYA YA / PLEASE SUBSCRIBE MY CHANNELS How many devices running on Lollipop, and the average category of devices that obtain updates lollipop is a high-end devices, and  this is very annoying, and probably for some users who still used a low-end device isnt getting it. even though it many custom rom running on lollipop, and I am very grateful to the developers (Sir Pawitp, Rutvik Rajagopal and others Dev) who have taken the time for the sake of availability Lollipop. but here isn't the intent to distribute lollipop or some port, but only slight modifications that are similar to lollipop, in this case is TW lollipop. Although in reality it is still far from original touchwiz lollipop stock rom this is just a hobby, I'm just a newbie and still learning, and not compete so a smart and ahead of my teachers. Once again, is not the intent disrespectful towards teachers and other develope

CARA ROOT GALAXY M20

CARA ROOT GALAXY M20 CARA ROOT GALAXY M20 Cara root galaxy M20 adalah sebagai berikut : Check This : NEW Step 1: NEW Step 2: NEW Step 3: Atau anda bisa menggunakan cara dibawah ini, akan tetapi kekurangannya apabila OS sudah di update ke OS Pie maka anda tidak bisa login ke akun samsung dan mengamankan HP anda dengan lockscreen Pertama siapkan bahan-bahannya: a. Mirror Link TWRP galaxy M20 b. Mirror Link RMM State By Messa c. Mirror Link No Verif Encrypt d. Mirror Link Magisk Manager e. Mirror Link Magisk Installer Kedua Masuk ke download mode dengan cara 1. Pencet tombol Off 2. setelah HP mati, pencet dan tahan beberapa saat tombol Power dan Vol up secara bersamaan untuk masuk ke download mode 3. Setelah masuk ke mode stock recovery, masuk ke menu reboot to bootloader dan akan masuk ke menu download mode 4. Koneksikan kabel USB ke PC/Laptop 5. Buka Odin3-v3.13.1 6. Setelah terbuka, akan ada indikator terkoneksi di aplikasi odin 7. Di aplikasi o