Dalam e-democracy, seperti saat ini, para kontestan elektoral berlomba-lomba mendekati dan meyakinkan pemilih millennial dan pasca-millenial. Bukan hanya karena populasinya yang cukup besar, tetapi juga karena keterampilan digital yang dimilikinya.
Dengan keterampilan tersebut, mereka mampu mendominasi dalam ruang publik (public sphere) media sosial Pemilu 2019. Mereka memiliki kekuatan membentuk dan mengubah opini publik para pengguna internet.
Dukungan elektoral mereka yang diekspresikan dan didiskusikan di ruang publik media sosial dapat menjadi kekuatan pemasaran politik (political marketing) para kandidat. Oleh karena itu, mereka berpotensi dapat mewarnai lanskap komunikasi politik elektoral Indonesia.
Lalu, sebenarnya siapakah mereka itu? Pemilih Millenial dan Pasca-Millenial Istilah Millenial bukanlah sebuah istilah yang asing dalam politik elektoral Indonesia. Banyak pemberitaan, publikasi polling, dan bahkan studi ilmiah tentang millennial. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Neil Howe dan William Strauss (2000) dalam buku Millennials Rising: The Next Great Generation. Millenial dikenal juga sebagai Generasi Y, generasi me, atau echo boomers. Mereka adalah yang terlahir di rentang tahun 1982 – 1998. Artinya, saat ini di Pemilu 2019, mereka berusia 21 – 37 tahun.
Berbeda dengan dengan pendapat Howe dan Strauss (2000) tersebut, Michael Dimock (2019), Presiden Pew Research Center, mengemukakan bahwa millennial adalah mereka yang terlahir di tahun 1981 – 1996. Artinya saat ini, di Pemilu 2019, mereka berusia 23 – 38 tahun.
Menurut Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi (2017), dalam buku Millenial Nusantara, tiga karakteristik utama dari millennial yaitu kreatif (creative), terhubung (connetected), dan percaya diri (confidence).
Pertama, kreatif. Mereka mampu berpikir lateral (out-of-the box thinking). Buktinya mereka mampu mengembangkan industri rintisan (startup industry) dan industri kreatif lainnya. Kedua, terhubung. Internet sebagai media komunikasi utama mereka. Oleh karena itu, mereka disebut juga always-on generation. Melalui internet, khususnya media sosial, mereka memiliki tingkat sosiabilitas yang tinggi –bahkan medsoc addict. Dan ketiga, percaya diri. Dengan kepribadian ini, mereka berani atau secara ekspresif mengemukakan pendapat di depan publik, bahkan berdebat secara terbuka. Selain karakteristik tersebut, mereka juga kritis (critical). Selain kebebasan politik yang sangat mendukung, sikap politik kritis millenial tersebut didukung oleh rasionalitas dan keberanian politik yang dapat diandalkan. Tentunya, rasionalitas politik tersebut didukung oleh literasi politik yang memadai, karena mereka rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang baik. Oleh karena itu, mereka secara terbuka dapat mengkritik gaya kampanye para kontestan elektoral.
Selanjutnya pemilih pasca-millenial. Pada tahun 2016, Departemen Pelayanan Manusia dan Kesehatan Pemerintah Amerika Serikat dan Pew Research Center mengemukakan istilah pasca-millenial (post-millenial). Atau yang dikenal istilah populer Generasi Z atau generasi yang terlahir pasca Generasi Y.
Statistics Canada menyatakan bahwa pasca-milleniah adalah mereka yang terlahir mulai tahun 1993, sedangkan menurut Michael Dimock (2019), mereka yang terlahir di rentang tahun 1997 – sekarang. Jadi dalam Pemilu 2019, mereka berusia 0 – 22 atau 0 - 26 tahun.
Mereka menggandrungi budaya pop (seperti musik K-pop) dan jurnalisme (khususnya journalisme warga). Tidak sekedar itu, menurut data Google Trends menunjukan bahwa Gen Z sangat aktif dalam pencarian informasi. Bahkan jika kita merujuk pada pemikirannya Marc Prensky (2001), mereka sebenarnya disebut sebagai Digital Natives (pribumi digital). Mereka yang akrab dengan bahasa digital komputer, permainan video, dan internet.
Merujuk pada deskripsi tersebut di atas dan berdasarkan pada Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2019 yang ditetapkan oleh KPU RI pada tanggal 15 Desember 2018 sebanyak 192.828.520 pemilih, jumlah pemilih millennial dan pasca-millenial sebanyak 53,81% dengan rincian, yaitu pertama, pemilih dengan usia di bawah 20 tahun sebanyak 17.501.278 atau sebesar 9,08 %; dan kedua, yang berusia di rentang 21 – 30 tahun sebanyak 42.843.792 atau sebesar 22,22%.; dan ketiga, yang berusia 31 – 40 tahun sebanyak 43.407.156 atau sebesar 22,51%.
Kekuatan elektoral mayoritas pemilih millennial dan pasca-millennial yang luar biasa tidak hanya memenuhi target partisipasi Pemilu 2019 sebesar 77,5%, tetapi juga menentukan kualitas partisipasi elektoral yang berkorelasi pada pematangan demokrasi di Indonesia. Harapan menjadi negara demokrasi penuh (full democracy state) ada di mereka. Pelajaran dari “Gelombang Muda” dalam Pemilu Sela AS 2018 Selasa, 6 November 2018 adalah hari yang bersejarah bagi partisipasi pemilih millennial dan pasca-millenial di Amerika Serikat. Hari tersebut adalah hari pemungutan suara Pemilu Sela 2018.
Mereka menoreh catatan historis baru dimana tingkat partisipasi yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir. CIRLE (the Center for Information & Research on Civic Learning and Egagement), yang meneliti peran serta politik pemilih muda Amerika, memperkirakan ada 31 persen pemilih berusia 18-29 tahun (pemilih muda) memberikan suara mereka. Sydney Ember (2018) menyebut fakta ini sebagai a youth wave (gelombang muda).
Misalnya, Tera Tanguma (23 tahun), pemilih pemula di Kota Austin, Texas, rela antre sejak pagi untuk memberikan suaranya di TPS, sambil membaca sebuah buku novel. Selain Tera, ada Zenarae Antoine, melalui akun Instagram-nya, dengan bangga memposting fotonya dengan penuh kegembiraan sehabis memberikan suara dan dibubuhi beberapa hastag, salah satunya #FirstTimeVoters.
Ada banyak cerita inspiratif lainnya dimana pemilih millennial dan pasca-millenial Amerika Serikat memperlihatkan antusiasme dan idealisme elektoralnya. Gejala kebangkitan pemilih milleniah dan pasca-millenial ini, jelang hari pemungutan suara sudah diketahui oleh Institute of Politics dari Harvard Kennedy School. Berdasarkan hasil risetnya didapati bahwa dari empat dari 10 orang dewasa di bawah 30 tahun menyatakan akan memilih (definitely vote).
Hal ini juga ditegaskan oleh Sarah Audelo, Direktur Eskekutif Alliance for Youth Action, mengatakan pemilih muda selama ini dicibir, karena dianggap tak peduli politik. Namun kali ini berbeda, katanya “banyak dari mereka yang baru pertama memilih”.
Lalu bagaimana dengan partisipasi pemilih millennial dan pasca-millenial di Indonesia, apakah sama? Fakta Politik yang Menantang
Jelang satu bulan masa kampanye Pemilu 2019, tepatnya pada tanggal 20 Oktober 2018, Hasanuddin Ali, Founder & CEO Alvara Research Center, mengemukakan berdasarkan kajian lembaganya mendapati pemilih milenial cuek dengan politik, padahal mereka adalah penentu elektoral dalam Pilpres 2019.
Temuan survei Alvara Research mendapati ada 22% generasi millennial yang menyukai politik. Selebihnya, mereka yang berusia 21-35 tahun lebih menyukai pemberitaan gaya hidup, musik, teknologi, dan film. Millennial masih mengangap politik itu ursan orang tua, tidak mengasikan (fun). Ali pun mengkhawatirkan partisipasi mereka, dimana mereka berpotensi enggan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019.
Apatisme politik pemilih millennial juga pernah mendera Pemilu Amerika Serikat, dimana dalam sejarahnya, partisipasi pemilih millennial selalu rendah, kecuali Pemilu Sela 2018. Mengapa demikian? Menurut seorang psikolog bernama Dr. Kawashima-Ginsberg, karena pemilih millennial (baca: pemilih muda) tidak memahami tentang signifikansi suara mereka dalam Pemilu dan masa depan pemerintahan. Dr. Kawashima-Ginsberg mengatakan ketika orang muda merasa suara mereka tidak penting, maka mereka tidak memilih (Ember, 2018).
Setelah tiga bulan masa kampanye atau memasuki awal tahun 2019, sikap politik pemilih millennial masih belum banyak perubahan. Misalnya, pada minggu kedua Januari 2019, tepatnya pada tanggal 15 Januari 2019, puluhan anak muda anggota komunitas SGM (Saya Milenial Golput) mengancam akan golput (abstaint) di Pemilu 2019. Mereka protes atas iklim politik yang disajikan oleh para kandidat Pilpres 2019. Mereka menuntut adanya perbaikan gaya kampanye. Jika tidak ada perbaikan, maka mereka tidak menutup kemungkinan untuk tidak memilih (golput).
Sebagai pemilih pemula, mereka berekspektasi untuk mendapatkan pelajaran politik, bukan sebaliknya mendapatkan totonan politik yang saling menjatuhkan dan bahkan hal-hal tidak substantif dengan Pemilu. Akibatnya, millennial tak bisa mendapatkan propgram dan gagasan yang ditawarkan. Oleh karena itu, Saifa menuntut para kandidat Pilpres dapat menunjukan program terbaiknya untuk kemajuan bangsa pada masa kampanye Pemilu 2019.
Fakta ini sangat menantang tidak hanya bagi kontestan elektoral, tetapi juga penyelenggara elektoral untuk sama-sama mempersuasi agar mereka dapat menjadi pemilih aktif dan rasional dalam menggunakan hak pilihnya. Kontestan elektoral (partai, caleg, dan capres-cawapres) tentunya berkembangan terhadap suara mereka. Berbeda dengan kontestan elektoral, penyelenggara elektoral tentunya berkembangann atas pencapaian target partisipasi pemilih.
Millenial dan Pasca-Millenial Tidak ‘Golput’ Kampanye debat pasangan Calon Presiden-Calon Presiden yang pertama pada tanggal 17 Januari 2019 telah menghadirkan harapan baru atas bangkitnya ‘gelombang muda’ (baca: pemlih millennial dan pasca-millenial) dalam Pemilu 2019.Banyak kelompok atau komunitas pemilih muda yang menggelar nonton bareng (nobar). Misalnya Alifian Rizzalul Ahmada, seorang pemilik café di Jember, sengaja menggelar nobar debat tersebut dengan tujuan sebagai pembelajaran politik agar generasi millennial melek politik dan mengurangi golput. Semoga keempat debat capres-cawapres mendatang semakin dapat meyakinkan pemilih muda untuk memilih. Selain itu, kita patut mengapresiasi kebijakan KPU RI yang berupaya mengaktivasi partisipasi pemilih millennial dan pasca-millenial melalui program Relawan Demokrasi (Relasi) –di seluruh Indonesia yang dimulai Januari 2019. Dari sepuluh segmen basis pemilih yang dijadikan target sosialisasi dan pendidikan pemilih, ada 4 basis pemilih yang terkait dengan pemilih millennial dan pasca-millenial yaitu basis pemilih pemula, muda, komunitas, dan warga internet.
Suksesnya program Relasi tersebut akan semakin baik, jika para kandidat secara efektif meyakinkan pemilih millennial dan pasca-millenial. Mengapa demikian? Karena di era personalisasi politik, praktek kampanye difokuskan pada kandidat. Fenomena ini disebut dengan istilah candidate-centered campaign. Yang selanjutnya melahirkan istilah candidate-based voting. Pilihan elektoral pemilih didasari pada kandidat. Oleh karena itu, kandidat menjadi kekuatan elektoral utama dalam meraih kemenangan elektoral (elektoral win). jika kita menggunakan perspektif marketing politik, dimana kandidat sebagai produk elektoral yang ditawarkan, tentunya dalam logika permintaan-penawaran (suppy-and-demand logic), maka para kandidat (baik caleg atau capres-capres) harus dapat memberikan penawaran yang terbaik tidak hanya citra diri (personalitas kandidat), tetapi yang terpenting adalah program-program yang ditawarkan.
Jadi kampanye programatik adalah kunci menggerakan pemilih millennial dan pasca-millenial untuk menggunakan hak pilihnya. Hal ini juga dibuktikan oleh hasil survei Litbang “Kompas” yang dipublikasikan pada 7 Januari 2019. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa mayoritas responden menilai penting informasi visi, misi, dan program capres-cawapres. Pemilih Pemilu 2019 menanti lebih banyak materi kampanye programatik.
Sumber Referensi:
Ali, Hasanuddin & Purwadi Lilik (2017). Millennial Nusantara: Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya. Jakarta: Gramedia Dimock, Michael (2019). Defining Generations: Where Millennial End and Generations Z Begins. Pew Research Center, January 17, 2019.
Thanks infonya. Oiya ngomongin generasi milenial, ternyata saat ini ada loh platform pengembangan dana buat generasi tersebut. Dan katanya sih menguntungkan banget. Selengkapnya, temen-temen bisa cek di sini: pengembangan dana untuk milenial
BalasHapus